Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Saturday, November 17, 2007

SOEHARTO DAN ANAKRONISME KEADILAN ( I )

SOEHARTO DAN ANAKRONISME KEADILAN ( I )

“Ironisnya ketika pemerintah selalu berlindung dibalik kata-kata
“kemanusiaan” dalam menghadapi mantan diktator yang selama ini telah
menghancurkan esensi kemanusiaan itu sendiri…”

Soeharto seorang mantan diktator fasis-kanan Orba, kini tengah
berproses dengan suatu praksis “pengampunan” yang tengah dibangun
oleh pemerintahan neo-Orba masa kini yang dipimpin oleh Susilo Bambang
Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla (SBY-MJK). Praksis “pengampunan”
kepada sebagian kecil “dosa-dosa” (dari seluruh “dosa-dosa”)
politiknya kepada seluruh masyarakat Indonesia yang didasarkan oleh
suatu argumen dan legitimasi dari suatu hukum formil, dan pemerintah
mempraksiskan “kekakuan” hukum tersebut sebagai alat untuk melakukan
suatu pembenaran kebijakan struktural untuk “mengampuni”. Tentunya
sangat berparadoks dengan praksis hukum yang diberlakukan kepada
mayoritas masyarakat di Indonesia, dengan menihilkan substansi keadilan
dari hukum itu sendiri. Ya, ketika hukum harus dilaksanakan —atau
dapat berjalan— hanya dengan praksis-praksis politik oleh orang-orang
yang mendominasinya, atau oleh suatu konsesi politik dari beberapa
faksi yang bersinergis secara taktis dan terbatas.

Apa yang dilakukan oleh pemerintahan masa kini terhadap Soeharto
bukanlah hal yang bersifat atraktif bagi keadilan itu sendiri, ataupun
suatu bentuk sensasi kekuasaan yang “mengatur” tentang realita nasib
seseorang, tetapi ini suatu upaya untuk “memutarbalikan” suatu logika
tentang keadilan dan meniadakan tuntutan yang dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat luas. Dan ini merupakan bagian dari beberapa
penjelasan riil tentang ketidakmampuan untuk mendirikan realita
keadilan tersebut, dan hanya berdasarkan pada logika sederhana
pemerintahan dalam perlakuannya terhadap keadilan. Atau tanpa
mengabaikan suatu kemungkinan, ketika proses “penyederhanaan” kepada
logika tentang keadilan disebabkan oleh tiadanya kemauan pemerintah
untuk menindak Soeharto secara lebih mengakar dan mengintrospeksi
sejarah tentang Orba itu sendiri. Lalu pemerintah dengan berbagai teori
“pembenarannya” berusaha menarik titik masalah keadilan kepada
pertimbangan “kemanusiaan” terhadap Soeharto, atau pemerintah sendiri
secara tiba-tiba berubah sikap untuk melegalisasikan konsep humanitas
dalam kasus ini (?).

Praksis retrospeksi terhadap sejarah telah dilakukan oleh pemerintah,
ketika pemerintah berusaha melakukan perbandingan deskriptif tentang
“perbuatan baik” yang dipraksiskan oleh Soeharto ketika “menguasai”
negeri ini selama 32 tahun. Tetapi pemerintah selalu “menghapuskan”
realita sejarah yang masih berada di memori kolektif masyarakat tentang
“bentuk-bentuk kejahatan”, yang dipraksiskan secara ideologis hingga
secara ekstremitas institusi kepada masyarakat selama Soeharto
berkuasa. Dan ini merupakan suatu bentuk realisasi nyata, ketika
orang-orang yang “dibesarkan” oleh Orba melakukan gerilya politik
dengan legalisasi media struktural (kepartaian, birokrasi, militer,
aparatur hukum, dan jajaran kementerian), hingga pada suatu kevulgaran
tindakan untuk melindungi Soeharto dari berbagai tekanan yang dilakukan
oleh masyarakat terutama oleh kelompok oposisi-kiri di Indonesia. Pada
intinya, ketika mereka semua berusaha untuk “membalas budi” yang
telah ditanamkan oleh kuku-kuku Orba kepada kehidupan mereka. Bahkan,
ketika kuku-kuku Orba mampu “menancap tajam” kepada orang-orang yang
selama ini dianggap lebih “steril” ataupun yang dianggap
berseberangan oleh Orba pada masa itu. Hal ini dapat terlihat jelas
ketika mereka menduduki kursi kekuasaan sebelum SBY-MJK terpilih
sebagai presiden dan wakil presiden. Maka tidak heran ketika masyarakat
harus dipecundangi untuk kesekian kalinya oleh kaum tekno-demokratik
yang dianggap sebagai praksis reformis dan demokratis, dan masyarakat
“dipaksa” untuk menerima konsep yang mendemoralisasi tuntutan akan
keadilan tersebut. (bersambung)

Mei 2006, Leonowens SP

SOEHARTO DAN ANAKRONISME KEADILAN ( II )

Karakter resistensi pemerintah terhadap realita yang dibangunnya untuk
mendemoralisasi suatu bentuk keadilan, telah menjelaskan suatu
pemerintahan yang berpraksis “mengeksploitasi” hukum untuk
menciptakan suatu “keadilan” yang dianggap sesuai dengan tawaran
logika hukum. Tentunya pemerintah sendiri telah bersikap antipati
terhadap bentangan realitas kejahatan (Soeharto) yang dilakukan selama
32 tahun, dengan mengupayakan suatu pembenaran yang diambil berdasarkan
“sisi positif” yang telah dipraksiskan oleh Soeharto selama ia
berkuasa. Ironisnya ketika pemerintah selalu berlindung dibalik
kata-kata “kemanusiaan” dalam menghadapi mantan diktator yang selama
ini telah menghancurkan esensi kemanusiaan itu sendiri kepada seluruh
masyarakat di Indonesia. Dan pemerintah bersama dengan para tokoh yang
telah “dibesarkan” oleh Orba, secara serentak melakukan sebuah
perlawanan sporadis (yang dulunya terkesan malu-malu) terhadap tuntutan
keadilan dari apa yang telah dikerjakan oleh Soeharto dan kroninya
selama ini. Ibarat seperti sekumpulan orang (kaum elit) yang
dimobilisir untuk secara bersamaan melakukan praksis “pembebasan”
kepada Soeharto. Dan hal ini dapat divisualisasi, ketika pemerintah
SBY-MJK melakukan praksis atraktif dengan melakukan rapat konsultasi
yang dihadiri oleh pejabat lembaga tinggi dan tertinggi negara hanya
untuk membahas satu kasuistik krusial, yaitu status hukum Soeharto.

Memang menjadi suatu keharusan untuk melakukan perbandingan empiris
tentang apa yang telah dipraksiskan oleh Orba, khususnya Soeharto,
selama ia menguasai Indonesia. Dan ini harus digulirkan secara obyektif
untuk membangun suatu kesadaran masyarakat tentang sejarahnya. Tetapi
kini pemerintah dengan segala “kelicikannya” berusaha untuk membangun
suatu image positif tentang Soeharto, dan pemerintah dengan
kekuasaannya mampu untuk berpropaganda secara progresif, cepat, dan
meluas; yang pada akhirnya mampu membunuh karakter kesadaran kolektif
masyarakat tentang sejarahnya yang kelam ketika Soeharto berkuasa.
Masyarakat selalu dikondisikan oleh praksis-praksis yang manipulir agar
terbangun suatu memori kolektif tentang “pembuaian” oleh mimpi-mimpi
masa lalu: pembangunan, kestabilitasan, keamanan, dan pertumbuhan
ekonomi. Bersamaan dengan itu, ketika daya kritis masyarakat semakin
ditumpulkan oleh realita kesehariannya dan kejenuhannya oleh bermacam
pagelaran pada teater realitas tentang apa yang dilakukan oleh para
elit yang selalu “mengusung” —lebih tepatnya mengeksploitasi—
reformasi dan demokrasi tersebut.

Lalu, hal ini tidak hanya sebatas pada pragmatisme yang dilakukan
berdasarkan ide tentang “pelestarian Orba dan nilai-nilainya”, tetapi
ada suatu bentuk ide (walaupun moderatif) yang lebih diakomodir oleh
kaum yang “selalu mengusung agama” dengan tawaran suatu praksis
penetralisiran secara telanjang, yaitu menawarkan bentuk rehabilitasi
“secara berimbang” antara Soekarno dan Soeharto. Mereka berpikir
tentang esensi dari suatu kontradiksi permanen yang ada di republik ini
hanya berporos pada dua kutub figur yang berpengaruh, terutama yang
berekses kepada masyarakat grass root. Tetapi mereka membuang wajahnya
dari kemunafikan yang telah mereka praksiskan, terutama dalam relasi
masyarakat dan negara. Atau mereka selama ini hanya memperjuangkan
suatu “jalan tengah” dari suatu ketidakmampuan untuk merealisasikan
nilai-nilai tentang keadilan yang harus dibangun. Bahkan, hal tersebut
makin distimulus oleh konsep-konsep yang mengirasionalisasi secara
paksa tentang bentuk-bentuk ketidaksempurnaan dari manusia yang harus
diberikan suatu “pengampunan”, seperti yang telah digariskan berdasar
nilai-nilai keilahian dalam relasi antar sesama manusia. Dan bukankah
ini suatu bentuk penafsiran yang terlalu absurd jika dibumikan dalam
suatu bentuk kebijakan oleh pemerintah? (bersambung)

SOEHARTO DAN ANAKRONISME KEADILAN ( III-Akhir )

Pemerintah selalu berbicara tentang prinsip-prinsip “kemanusiaan”
pada kasus Soeharto, tetapi pemerintah telah bersikap ambiguitas
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang harus dipraksiskan dalam
mewujudkan suatu bentuk keadilan, terutama kepada masyarakat di
Indonesia. Bahkan selama ini pemerintah telah melakukan suatu
penyederhanaan terhadap prinsip tentang konstruksi keadilan, terutama
konstruksi keadilan yang seharusnya dibangun pada relasi antara
masyarakat dengan negara. Jadi dimanakah letak keadilan itu, ketika
keadilan hanyalah suatu “hiasan” pada dinding-dinding demokrasi? Hal
ini telah menegaskan tentang suatu pemerintahan yang mereposisi dirinya
sebagai “tuhan” penentu nasib setiap manusia, khususnya tentang
hubungannya dengan keadilan. Dan pemerintah adalah “hukum” itu
sendiri, termasuk pemerintah yang merupakan “keadilan” yang harus
diberlakukan secara paksa ditengah-tengah masyarakatnya. Kasus Soeharto
telah menjelaskan tentang apa yang dianggap “hukum dan keadilan” oleh
pemerintah. Kini masyarakat diupayakan agar “memaklumi” apa yang
telah dilakukan oleh Soeharto selama ia dulu berkuasa, tetapi
masyarakat tak habis-habisnya disuguhkan oleh rentetan ekses (negatif)
dari kekuasaan Soeharto yang tetap bergerak hingga rentang kekinian,
dan di setiap kehidupan masyarakat.

Indonesia masa kini tidak akan terlepas dari apa yang telah
dipraksiskan dan dibentuk oleh pemerintahannya pada masa lalu; tentunya
pemerintah sangat dominan untuk membangun suatu negara dibanding
masyarakatnya, karena di Indonesia masyarakat hanyalah pelaku pasif
dari apa yang “dikehendaki” atau yang “diperintah” oleh
pemerintahnya, khususnya pada masa Soeharto waktu berkuasa. Soeharto
sebagai icon kediktatoran korup di Indonesia, secara sistemik
direposisi oleh pemerintah dengan membangun suatu opini positif
tentangnya, dan pemerintah selalu menawarkan suatu “logika sederhana”
dalam menentukan status hukum Soeharto dari praksis kejahatan masa
lalunya. Pemerintah merupakan antitesa dari sejarah kejahatan Soeharto,
karena pemerintah bersikap ambigu dalam menindak Soeharto dan para
kroninya. Ada apa dibalik itu semua? Ini adalah salah satu hal menarik,
karena keterikatan terhadap Orba masa lalu-lah maka pemimpin-pemimpin
di republik ini dapat berdiri untuk memimpin. Rakyat hanyalah pelengkap
dari proses kepemimpinan, karena rakyat merupakan “obyek” dari
kekuasaan, tidak lain dari itu!

Masyarakat traumatis akan hadir bersamaan dengan setiap pergantian
pemerintahan di republik ini, dan masyarakat depresif merupakan
pelengkap sempurna —dalam relasi masyarakat dan negara— ketika
pemerintahan tersebut tengah berpraksis. Ini adalah realita, yang mana
realita tersebut tidak pernah dipertemukan dengan keadilannya, ataupun
realita tersebut pada akhirnya selalu “disembunyikan” dari memori
kolektif masyarakatnya. Tentunya masyarakat selalu dibangun dalam ruang
yang “harus melupakan” realita sejarahnya, ataupun “berdamai”
dengan masa lalunya, sehingga masyarakat selalu dihadapkan dengan suatu
kedilematisan tentang praksis keadilan. Praksis keadilan yang merupakan
bagian krusial untuk membangun sejarah masyarakat kedepan, kini harus
dibuyarkan oleh kebijakan kontroversial SBY-MJK tentang keadilan itu
sendiri. Dan proses menuju keadilan terhadap Soeharto, harus melalui
beberapa bentuk “petualangan” politis yang dipraksiskan oleh keempat
orang Presiden-Wakil Presiden pasca Mei ’98. Pemerintah selama ini
hanya mengupayakan suatu pembangunan keadilan berdasarkan pada
hukum-hukum formil, tanpa praksis perjuangan politik untuk
membangunnya. Yang dipraksiskan oleh pemerintah adalah bentuk-bentuk
politisasi hukum. Lalu, dimana hak masyarakat untuk menuntut keadilan
terhadap mantan penguasanya? Bahwasannya apa yang disebut “hak”
tersebut telah direposisi oleh pemerintah sebagai realita
phantasmagoria yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi tentang keadilan
oleh masyarakat. (selesai)

Mei 2006, Leonowens SP

No comments: