Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Friday, January 25, 2008

Di saat lelah...

terik dan panas
mengiringi langkah ini
meraih cita-cita
yang belum tercapai

Begitu banyak jalan
yang harus kulalui
Begitu banyak pilihan
yang harus kupilih

tetapi langkahku terhenti
banyak duri yang menghalangi

Aku hanya perlu satu
satu yang bisa memantabkannya
demi cita-cita
dan hanya dia

di saat lelah dia datang

Thursday, January 24, 2008

incest band

Wednesday, January 23, 2008

JAHE UNTUK BAHAN BAKU OBAT

SNI
(Standar Nasional Indonesia)
(SNI 01-7087-2005)


ICS 11-120-20. Badan Standardisasi Nasional.


Daftar Isi

Daftar isi
Prakata
Ruang Lingkup
Acuan Normatif
Istilah dan Definisi
Syarat Mutu
Cara Pengambilan Contoh
Cara Uji
Cara Pengemasan
Pemeriksaan Contoh
Bibliografi

Prakata

Standar jahe untuk bahan baku obat disusun dan dirumuskan oleh Panitia Teknis 78A Produk Segar Pangan, Hortikultura dan Perkebunan dan elah dibahas dalam rapat konsensus nasional di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2003 yang dihadiri oleh wakil-wakil produsen, konsumen, asosiasi, balai-balai penelitian, peguruan tinggi, serta instansi pemerinah yang terkait.
Standar ini disusun sebagai upaya untuk meningkatkan jaminan mutu (Quaity assurance) mengingat jahe untuk ahan baku obat banyak diperdagangkan serta mempengaruhi mutu dan produksi bat.
Standar jahe untuk bahan baku obat disusun dengan mangacu pada :
Undang-undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1992, tentang Budidaya Tanaman.
Peraturan Pemerinah No. 44 tahun 1995, tentang Perbenihan Tanaman.
Keputusan Meneri Pertanian No. 170/Kpts/OT.210/3/2002, tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian.
Keputusan Menteri Pertanian No. 803/Kpts/OT.210/7/1997, tentang Sertifikasi dan Pengawasan Benih Bina.

Jahe untuk bahan baku obat

Ruang Lingkup
Standar ini meliputi acuan normatif, istilah dan definisi, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, yarat penandaan, dan cara pengemasan jahe untuk bahan baku obat.

Acuan Normatif
SNI 19-0428-1998, Petunjuk pengambilan contoh padatan.
SNI 01-3193-1992, Penentuan kadar minak atsiri.

3. Istilah dan definisi
3. 1. Jahe segar untuk bahan baku obat
Rimpang (rhizoma) dari tanaman jahe (Zingiber officinale var. Emprit), yang sudah tua/matang fisiologis, berbentuk utuh dan segar serta dibersihkan (Gambar l).

3. 2. Kesegaran
Jahe dinyatakan segar apabila kulit jahe tampak halus/tidak mengkerut, kaku, dan mengkilat.

3. 3. Bentuk rimpang
Rimpang jahe dinyatakan utuh apabia maksimal 2 anak rimpang patah pada pangkalnya.

3. 4. Rimpang betunas
Jahe segar dinyatakan rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa ujung dari rimpang telah bertunas.

3. 5. Kenampakan irisan melintang
Jahe segar apabila diiris melintang pada alah satu rimpangnya dinyatakan cerah apabila penampangnya berwarna cerah khas jahe segar.

3. 6. Serangga hidup, hama dan penyakit lain
Semua organisme yang dapat dilihat dengan mata tanpa pembesaran.

3. 7. Rimpang yang terluka
Rimpang yang luka pada jaringan endodermis.

3. 8. Rimpang busuk
Rimpag dinyatakan busuk apabila terdapat bagian yang lebih lunak yang disebabkan jamur atau bakteri dari rimpag yang masih segar.

3. 9. Kadar akstrak yang larut dalam air
Persentase ekstrak yang larut dalam air dari bahan yang elah dikeringkan di udara.

3. 10. Kadar ekstrak yang larut dalam etanol
Persentase ekstrak yang larut dalam etanol dari bahan yang telah dikeringkan di udara.

3. 11. Jumlah telur nematoda
Jumlah telur nematoda yang ditemukan dalam tiap gram cuplikan kering.

SNI BUAH RAMBUTAN SEGAR (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

Buah rambutan segar adl buah dari tanaman rambutan (Nephelium lappaceum Linn) dalam tingkat ketuaan optimal, utuh, segar dan bersih.
Keseragaman kultivar adl keseragaman kenampakan buah rambutan segar dari kultivar tertentu spt: Simacan, Binjai, Lebak Bulus, Rapiah dll. Yg ditandai dg bentuk dan warna buah.
Panjang tangkai adl. ukuran panjang tangkai buah dari ujung yg melekat pd permukaan buah sampai bekas potongan tangkai buah.

KLASIFIKASI / PENGGOLONGAN

Menurut beratnya Buah Rambutan segar untuk masing2 kultivar digolongkan dalam 2 jenis mutu I & II.

SNI TOMAT SEGAR (STANDAR NASIONAL INDONESIA)

Tomat segar adl Buah dari tanaman tomat (Lycopersicum esculentum, Mill) dalam keadaan utuh, segar dan bersih.
Kesamaan sifat varietas : Kesamaan sifat varietas dinyatakan seragam apabila terdapat keseragaman dalam bentuk tomat normal (bulat, bulat lonjong, bulat pipih; lonjong dan beralur) dan warna kulit buah.
Tingkat ketuaan : Buah tomat dinyatakan tua apabila buah tomat telah mencapai tingkat perkembangan fisiologis yg menjamin proses pematangan yg sempurna dan isi dari dua atau lebih rongga buah telah berisi bahan yg mempunyai konsistensi/kekentalan serupa jelli dan biji-biji telah mencapai tingkat perkembangan yg sempurna. Buah tomat dinyatakan terlalu matang dan lunak apabila buah tomat telah mencapai kematangan penuh dg tekstur daging yg lunak dan dianggap telah lewat waktu pemasarannya.
Ukuran : ukuran dinyatakan seragam apabila telah sesuai dg penggolongan 3 macam ukuran berat yg ditentukan dg tolenransi 5 % (jumlah/jumlah) maks.
Kotoran : Kotoran dinyatakan tidak ada apabila tidak terdapat kotoran/ benda asing yg menempel pada tomat atau berada dalaam kemasan yg mempengaruhi kenampakannya. Bahan penyekat dan pembungkus tidak dianggap sebagai kotoran.
Kerusakan : Tomat dinyatakan rusak apabila mengalami kerusakan atau cacat oleh sebab fisiologis, mekanis dan lain-lain yg terlihat pada permukaan buah.
Busuk : Tomat dinyatakan busuk apabila mengalami pembusukan akibat kerusakan biologis.



KLASIFIKASI / PENGGOLONGAN

Menurut beratnya tomat segar digolongkan dalam :

Besar : lebih dari 150 g / buah
Sedang : 100 g – 150 g / buah
Kecil : Kurang dari 100 g / buah.

SNI KENTANG SEGAR

SNI KENTANG SEGAR
(STANDAR NASIONAL INDONESIA)

Definisi : Kentang segar adl. Umbi batang tanaman kentang dalam keadaan utuh, bersih dan segar.
Keseragaman warna & bentuk : Keseragaman warna kulit; Kuning atau Merah.
warna daging : Putih, Kuning, Putih kekuning-kuningan atau kuning keputiha-putihan.
Bentuknya : Bulat, Lonjong/ Lonjong bulat.
Keseragaman Ukuran : Ukuran yang seragam sesuai dg penggolongan 4 macam ukuran berat. Toleransi diatas/dibawah ukuran berat masing-masing 5 % maksimum.
Ke rataan permukaan Kentang : rata bila tidak lebig dari 10 % berat kentang dalam partai mempunyai benjolan yg lebig besar dari 1 Cm.
Kotoran : semua bahan bukan kentang spt tanah, pasir, batang, daun dsbnya.
Kentang cacat : Kentang yang berpenyakit, berhama, bertunas, pecah, burabah warna, bermata dalam atau karena kerusakan lain, kecuali bila cacat tersebut dapat dihilangkan dg pengupasan biasa dan hasil terkupas tidak kurang 90 % dari berat kentang. Toleransi thd yg berpenyakit maksimum 1 % untuk Mutu I dan 2 % untuk Mutu II.
Ketuaan ketang : sifat yg ditunjukan oleh kulit kentang yg tidak mudah mengelupas.
Tua bila Kulit kentang kuat & tidak lebih dari 5 % berat kentang dalam partai mempunyai kulit yg mengelupas lebih dari ¼ bagian permukaan.
Cukup tua : bila kulit kentang cukup kuat & tidak lebih dari 10 % berat kentang dalam partai mempunyai kulit yg mengelupas lebih dari ¼ bagian permukaannya.


KLASIFIKASI / PENGGOLONGAN
Menurut ukuran berat kentang segar digolongkan menjadi :

Kecil : 50 g ke bawah
Sedang : 51 g – 100 g.
Besar : 101 g – 300 g.
Sangat Besar : 301 g ke atas.

Pengolahan Tanah Konservasi

Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern. Pengolahan tanah bagaimana yang tepat untuk kelestarian sumberdaya tanah? Arsjad 2000, mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma. Soepardi 1979, mengatakan mengolah tanah adalah untuk menciptakan sifat olah yang baik, dan sifat ini mencerminkan keadaan fisik tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna tauna, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan surface sealing yaitu butir tanah terdispersi oleh butir hujan , menyumbat pori-pori tanah sehingga terbentuk surface crusting. Untuk mengatasi pengaruh buruk peng-olahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara yang dimaksud adalah :
1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelum-
nya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama
masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan
dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida
2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja
yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga ter-
bentuk jalur-jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Peng-
olahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur
juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
Sebagian dari praktek pengolahan tanah seperti ini sebenarnya sudah ada sejak dulu dan telah dilakukan oleh petani di beberapa daerah di Indonesia. Petani mungkin menganggapnya sebagai tradisi nenek moyangnya yang perlu dipertahankan. Walaupun saat itu belum ada penyuluh pertanian ataupun literatur tentang konservasi tanah, tetapi para petani telah menerapkan cara bertani yang berasaskan konservasi tanah. Mengolah tanah secara konservasi telah dilakukan oleh orang jaman dulu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari usahataninya guna memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek, dan mungkin belum terpikirkan oleh mereka untuk melestarikan sumber daya tanah
Pengelolaan Tanaman Untuk Konservasi Tanah
Vegetasi sampai sekarang masih dianggap sebagai cara konservasi tanah yang paling jitu dalam mengontrol erosi tanah seperti yang diyakini sejumlah ahli konservasi bahwa “a bag of fertilizer is more effective than a bag of cement” (Hudson, 1989). Erosi yang terjadi akan berbeda pada setiap penggunaan tanah, variasi ini tergantung pada pengelolaan tanaman. Contoh sederhana seperti yang dikemukakan Hudson (1957) cit. Hudson (1980), kehilangan tanah dari 2 plot percobaan yang ditanami jagung, plot yang pengelolaannya tanamannya buruk kehilangan tanahnya 15 kali lebih besar dari plot yang pengelolaan tanahnya baik. Secara alamiah, tanaman rumput cenderung melindungi tanah, dan tanaman dalam barisan memberikan perlindungan lebih kecil, tetapi pendapat umum ini berobah oleh pengelolaan. Pengelolaan tanaman akan sangat menentukan besar kecilnya erosi. Penelitian menunjukkan bahwa pertanaman jagung yang dikelola dengan baik akan bertumbuh baik dan dapat menekan laju erosi dibanding padang rumput yang pengelolaannya buruk. Secara singkat dikatakan oleh Hudson bahwa erosi tidak tergantung pada tanaman apa yang tumbuh, tetapi bagaimana tanaman itu tumbuh.

Pengaruh tanaman dan pengelolaannya terhadap erosi tidak dapat dievaluasi secara terpisah karena pengaruhnya lebih ditentukan apabila keduanya dikombinasikan. Tanaman yang sama dapat ditanam secara terus menerus atau dapat juga digilir atau tumpang sari dengan tanam-an lain. Pergiliran tanaman dengan menggilirkan antara tanaman pangan dan tanaman penutup tanah/pupuk hijau adalah salah satu cara penting dalam konservasi tanah. Pergiliran tanaman mempengaruhi lamanya pergantian penutupan tanah oleh tajuk tanaman. Selain berfungsi sebagai
pencegahan erosi, pergiliran tanaman memberikan keuntungan-keuntungan lain seperti :
1. Pemberantasan hama penyakit, menekan populasi hama dan penyakit karena memutuskan si klus hidup hama dan penyakit atau mengurangi sumber makanan dan tempat hidupnya
2. Pemberantasan gulma, penanaman satu jenis tanaman tertentu terus menerus akan meningkatkan pertumbuhan jenis-jenis gulma tertentu
3. Mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah, jika sisa tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah dan tanaman tersebut adalah tanaman leguminosa akan menambah kandungan nitrogen tanah, dan akan memelihara keseimbangan unsur hara karena absorpsi unsur dari kedalaman yang berbeda
Ciri alam penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran matahari dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun. Faktor geologi dan tanah dibentuk oleh kondisi tersebut dan menghasilkan suatu proses yang cepat dari pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun bahan induk. Sebagai hasil dari proses tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya sedikit yang tersimpan dalam lapisan olah tanah. Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang dimana proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dlam lapisan olah tanah. Oleh karena itu pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan pertanian akan membuat tanah mengalami proses pemiskinan.
Sisa-sisa panen tanaman dapat ditebar ke permukaan tanah, dicampurkan dekat permukaan tanah, atau dibajak dan dibenamkan dan dapat berfungi sebagai mulsa atau sebagai pupuk organik. Efektivitas pengelolaan sisa-sisa tanaman ini dalam mengontrol erosi akan tergantung pada ba- nyaknya sisa tanaman yang tersedia.
Pemanfaatan sisa-sisa panen sebagai sebagai pupuk juga telah dilakukan sebagian petani di beberapa daerah sejak jaman dulu. Sisa-sisa panen yang dibiarkan atau ditinggalkan di lahan pertanian mempunyai banyak fungsi dalam menunjang usaha tani, diantaranya adalah sebagai mulsa yang dapat menghindarkan pengrusakan permukaan tanah oleh energi hujan, mempertahankan kelembaban tanah mengurangi penguapan, sisa panen lambat laun akan terdekomposisi terjadi mineralisasi yaitu perubahan bentuk organik menjadi anorganik sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia untuk tanaman, disamping itu asam-asam organik yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai bahan pembenah tanah atau soil conditioner. Praktek pertanian dengan berbagai jenis pupuk buatan pabrik semakin intensif digunakan sehingga mulai muncul kekuatiran kehabisan bahan baku pembuat pupuk, mulai mahal dan langkanya ketersediaan pupuk buatan, serta kekuatiran pencemaran tanah dan perairan oleh residu pupuk buatan, membuat sebagian orang kembali tertarik untuk melakukan praktek organic farming yang meminimalkan penggunaan bahan kimia dalam usahatani, dengan menggunakan bahan alami seperti pupuk hijau. Praktek yang dulu telah dilakukan petani walaupun tanpa disadarinya berfungsi untuk konservasi tanah, saat ini dilakukan lagi dengan kesadaran sebagai pelestarian sumber daya alam.
Saat ini pemanfaatan sisa-sisa panen, pupuk hijau, maupun limbah pengolahan produk pertanian (seperti limbah pabrik gula ) mulai diminati sebagai teknologi dalam usahatani yang ramah lingkungan dan merupakan appropriate input for sustainable agriculture (AISA) yaitu suatu sistem pertanian berkelanjutan dengan input yang sesuai agar meningkatkan pendapatan petani dari usahataninya dan menjamin kelestarian sumberdaya alam. Dalam konsep ini lebih ditekankan pada memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Dengan mengaplikasikan sisa-sisa panen ataupun bahan organik lainnya ke lahan pertanian maka akan memecahkan 2 masalah yaitu pengadaan pupuk organik dan masalah tempat pembuangan (berhubungan dengan pencemaran lingkungan).
Dari bahasan diatas dapat dikatakan bahwa usaha untuk melestarikan sumberdaya alam sebenarnya telah ada sejak dulu walaupun yang melakukannya tidak menyadarinya. Yang perlu dilakukan sekarang oleh adalah memberikan pemahaman bagi masyarakat petani akan manfaat usahatani konservasi.

USAHATANI KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM

Pendahuluan
Apabila pertumbuhan jumlah penduduk dunia, industrialisasi, pencemaran lingkungan, produksi bahan pangan, dan pengurasan bahan-bahan mentah alamiah yang saat ini sedang berlangsung diteruskan tanpa perubahan, maka batas-batas pertumbuhan absolut di bumi akan tercapai seratus tahun lagi ( Dennis Meadow).
Mencermati pernyataan di atas, timbul pertanyaan sudah sejauh manakah kita mengeksploitasi alam ini? Apakah selama ini manusia hanya memanfaatkan alam demi keperluannya tanpa menghiraukan akibat-akibatnya bila tidak ada usaha untuk memeliharanya? dan apakah ada usaha penghuni bumi ini untuk melestarikan sumberdaya alam?
Manusia tetap bisa menggunakan alam untuk tujuannya dengan cara menjadi bagian dari alam dengan seakan-akan memasuki proses-proses alam sendiri. Rasa memiliki sumberdaya alam di planet bumi ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara tepat dan lestari, demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Belum dipahaminya secara baik hubungan struktur antara masalah-masalah degradasi tanah dengan bentuk-bentuk institusi, norma, kaidah dan tata nilai sosial yang bersifat spesifik lokasi telah menyebabkan berbagai kekeliruan dalam alokasi sumberdaya alam sehingga terjadi berbagai inefisiensi dan kurang efektifnya upaya-upaya konservasi sumberdaya alam.
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang relatif besar menyebabkan kebutuhan akan lahan baik kuantitas maupun kwalitas akan semakin besar, sehingga dibeberapa daerah yang penduduknya padat tekanan terhadap tanah sangat besar. Apabila pertambahan penduduk dan pe-ningkatan kebutuhan lahan tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang baik dan benar menurut kaidah konservasi tanah dan air, maka keadaan itu akan mengancam kehidupan manusia dimasa yang akan datang, dan tujuan untuk pembangunan berkelanjutan semakin jauh dari jangkauan. Dalam melaksanakan pembangunan , sumber-sumber daya alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Hal ini merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Sumber daya alam harus diolah tanpa merusak lingkungan dan pengolahan sumberdaya alam harus dalam kerangka kebijakan pembangunan nasional secara menyeluruh dan mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang.
Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan, maka dalam memilih teknologi konservasi tanah dan air untuk diterapkan oleh petani di lahan pertaniannya , perlu diperhatikan beberapa hal yaitu teknologinya harus sesuai untuk petani, dapat diterima dan dikembangkan sesuai sumberdaya (pengetahuan) lokal. Kegagalan penerapan teknologi konservasi tanah selama ini karena pembuat kebijakan bertindak hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa memahami keinginan ataupun kemampuan petani. Dengan kata lain dalam pembangunan pertanian berkelanjutan perlu ada bottom up planning. Pemilihan teknologi dengan melibatkan pendapat petani adalah salah satu cara untuk mencapai pertanian berkelanjutan.

Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsjad, 2000), dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah tidaklah berarti penundaan atau pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan , agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan .Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Teknologi Usahatani Konservasi
Pada dasarnya usahatani konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS-DAS kritis (Saragih, 1996), akan tetapi penyerapan teknologi tersebut masih relatif lambat disebabkan antara lain :
1. Besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan
konservasi
2. Kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani
3. Masih lemahnya kemampuan pemahaman petani untuk menerapkan teknologi usahatani kon-
servasi sesuai yang diintroduksikan
4. Keragaman komoditas yang diusahakan di DAS-DAS kritis
5. Terbatasnya sarana/prasarana pendukung penerapan teknologi usaha tani konservasi
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang ada sekarang ini masih belum memadai sehingga perlu dicari teknologi yang lebih sesuai melalui kegiatan :
1. Penelitian komponen-komponen teknologi yang dapat mendukung paket teknologi usahatani
konservasi
2. Penelitian pengembangan teknologi yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut se-
suai dengan kondisi agrofisik dan sosial ekonomi wilayah setempat
Tehnik konservasi tanah seperti pembuatan kontur, teras, penanaman dalam strip, penanaman penutup tanah, pemilihan pergiliran tanah yang cocok, penggunaan pupuk yang tepat, dan drainase dalam literatur sering dijabarkan sebagai tehnik yang melindungi atau memperbaiki tanah pertanian secara keseluruhan, akan tetapi perlu ditekankan bahwa tehnik-tehnik tersebut dapat efektif apabila penggunaan lahannya sudah cocok. Tidak ada agroteknologi yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada tehnik konservasi yang dapat mencegah erosi kalau kondisi tanahnya tidak cocok untuk pertanian (Sinukaban, 1989).. Dalam tulisan ini dibahas beberapa agroteknologi dapat diterapkan petani di lahan pertaniannya. Beberapa diantaranya merupakan traditional wisdom, atau kearifan lokal yang menjadi sumber pertanian berkelanjutan sekarang ini.

Pertanian Organis, Sub Sistem Kehidupan yang Lengkap

October 30, 2007Pertanian Organis, Sub Sistem Kehidupan yang Lengkap
oleh: redaksi
Pertanian organis yang semakin banyak berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak yang bergelut dalam sector pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan. Revolusi hijau yang intensif input kimia telah memberi bukti bahwa lingkungan pertanian menjadi hancur dan tidak lestari. Pertanian organis kemudian dipercaya menjadi salah satu solusi alternatifnya. Namun, dalam pengembangan pertanian organis sendiri masih banyak kedala dari aspek teknis, sosial, pasar dan budaya. Tulisan berikut adalah hasil diskusi ELSPPAT yang dirangkum guna mengulas berbagai problematika tersebut.
Satu dekade setelah berkembangnya Revolusi Hijau, muncullah suatu gerakan ?kembali ke alam? dan mengkristalisasi salah satunya dalam gerakan Pertanian Organis (PO). Gerakan ini muncul dari kalangan konservasionis yang sejak awal telah mencium gelagat dampak negatif dari dari Revolusi Hijau. Gerakan mengusung idiologi kelestarian yang menekankan harmonisasi dan kelestarian dari komponen-komponen yang ada di alam, termasuk manusia, berdasar kaidah moral, lingkungan dan keseimbangan tatanan sosial dan ekonomi komunitas.
Benarkah pertanian modern (baca: non organis) masih relevan dengan tujuan dasarnya yaitu penyediaan kebutuhan pangan demi keberlanjutan kehidupan? Fakta yang terjadi adalah pertanian modern hanya mampu menyediakan pangan secara seragam dalam jangka pendek, dan mengabaikan kualitas. Sebaliknya, PO mampu menyediakan pangan beraneka ragam dengan kuantitas mencukupi dengan tetap memperhatikan keberlanjutan dalam jangka panjang. Hakekat kehidupan itu berlangsung terus-menerus sesuai kehendak-Nya, sehingga generasi masa depan pun juga memerlukan pangan cukup untuk melangsungkan kehidupan.
Pengembangan PO secara teknis harus disesuaikan dengan prinsip dasar lokalitas. Artinya pengembangan PO harus disesuaikan dengan daya adaptasi tumbuh tanaman/binatang terhadap kondisi lahan, pengetahuan lokal teknis perawatannya, sumberdaya pendukung, manfaat sosial tanaman/binatang bagi komunitas

Apakah Kita Diasuh ”Keluarga Serigala”?

Wacana Menyambut Hari Keluarga Nasional XI, 29 Juni
Oleh Ir. NENI UTAMI ADININGSIH, M.T.

PADA tahun 1800, di musim dingin yang sangat buruk, seorang penyamak kulit bernama Vidal yang tinggal di Desa Saint Sernin (Prancis) menangkap seorang bocah laki-laki "liar" yang kemudian diberinya nama Victor (12). Sejak saat itu, Victor tidak pernah kembali lagi ke alam liar. Namun bukan berarti ia kemudian bisa berubah "menjadi manusia. Victor, yang diletakkan di dalam sebuah kandang, mengalami kesulitan berbicara. Ia juga tidak bisa tenang, ia selalu bergerak ke segala arah. Victor mengguncang-guncangkan kandang, dan kadang mengeram. Ia melolong seperti serigala. Wajar (?), sebab Victor yang sejak lahir sudah dibuang oleh orang tuanya ke hutan Aveyron dibesarkan oleh segerombolan serigala.

Kemudian Victor dibawa ke Paris. Oleh Phillipe Pinel, seorang psikolog, ia didiagnosa sebagai anak bodoh yang tidak dapat disembuhkan. Meskipun demikian, Jean-Marc-Gaspard Itard, seorang dokter muda yang juga pengajar anak bisu-tuli serta keterbelakangan mental, ingin mendidik Victor. Dengan tekun ia mengajarnya membaca, mengucapkan beberapa patah kata dan memahami beberapa perintah sederhana, tetapi sayang hingga akhir hayatnya (1828), Victor tetap tidak bisa melakukannya dengan benar. Cerita di atas saya petik dan rangkum dari buku The Wild Boy of Aveyron (Jean Marc Gaspard Itard, Prentice Hall, 1962), Wild Boy of Aveyron (Harlan Lane, Harvard University, 1979) dan The Forbidden Experiment: The Story of the Wild Boy of Aveyron (Roger Shattuck, Kodasha Globe, 1994).

Realita kualitas keluarga

Dari cerita di atas tampak bahwa Victor tidak dapat lagi "dimanusiakan". Mengapa? Karena masa awal pertumbuhannya (sebagai manusia) sudah lewat dan masa pembentukan (seperti serigala) sudah terjadi. Hal ini mencuatkan makna bahwa sangatlah besar pengaruh lingkungan, dalam hal ini keluarga, terhadap proses "pemanusiaan".

Apa yang akan dilakukan oleh seorang anak, merupakan hasil pembelajarannya atas stimulasi dari lingkungan. Victor yang diasuh dan dibesarkan oleh keluarga serigala, tentu saja akan menempatkan dirinya sebagaimana layaknya anggota keluarga serigala. Artinya, bila kita ingin mendapatkan anak-anak yang cerdas (dalam segala aspek, intelektual, moral, emosional, spiritual), maka kita harus menempatkannya dalam lingkungan keluarga yang cerdas pula. Dan hal ini harus dilakukan sejak dini, selain karena masa itu tidak mungkin terulang, juga karena itulah saat di mana seorang manusia sedang dalam puncak pembelajaran.

Sayangnya, justru saat ini ada tengara, kita semakin tidak peduli akan eksistensi keluarga sebagai lingkungan awal proses "pemanusiaan". Yang lebih celakanya lagi, ketidakpedulian tersebut membuat anak-anak berada dalam lingkungan yang tidak cerdas, yang semakin menjauhkannya menjadi seorang manusia, seorang humanis.

Beberapa hal berikut ini, dapat dijadikan sebagai indikasi telah terjadinya reduksi kualitas anak Indonesia, menjadi anak yang semakin tidak cerdas bahkan menjadi liar. Pertama, semakin banyaknya anak yang terlibat pergaulan bebas. Hasil polling terhadap 200 mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung menunjukkan bahwa 50 persen responden telah melakukan hubungan badan satu kali dan 20 persen lebih dari dua kali (Pikiran Rakyat, 26/5/4). Dengan kondisi seperti ini, tidaklah aneh bila data yang dilansir oleh BKKBN menunjukkan bahwa 15-30 persen dari total kasus aborsi di Indonesia yang berjumlah 2,3 juta/tahun, dilakukan oleh remaja (Pikiran Rakyat, 6/6/4).

Kedua, semakin banyak anak yang mengonsumsi rokok. Data tahun 2000, yang dikeluarkan Global Youth Tobacco Survey (GYTS), sebagai hasil survei terhadap 2.074 responden usia 15-20 tahun, mengungkapkan bahwa 43,9 persen responden pernah merokok. Selain itu juga tampak adanya kecenderungan semakin muda saja usia pertama anak mengenal rokok yaitu umur enam-tujuh tahun. Kondisi ini perlu diwaspadai karena perilaku merokok merupakan pintu gerbang utama menjadi pencandu narkoba.

Ketiga, semakin banyaknya anak yang terjerat narkoba. Data Markas Besar Kepolisian RI mengungkapkan bahwa 50 persen dari total pencandu narkoba (sekira 6,5 juta orang) adalah generasi muda yang berumur 7-25 tahun. Besar kemungkinannya persentase tersebut akan meningkat. Apalagi semakin muda saja usia awal menggunakan narkoba, seiring dengan semakin banyaknya anak dan semakin mudanya usia awal mengisap rokok.

Keempat, semakin banyaknya kriminalitas oleh anak. Kian sering kita dengar aksi remaja/pelajar yang berani merampok di bus, tawuran, memerkosa bahkan membunuh. Mereka tidak lagi sekadar "nakal" namun telah melakukan tindak kriminal seperti memerkosa bahkan membunuh. Belum lagi kasus tawuran yang semakin menjadi "hal biasa". Tidak aneh bila setiap tahun, sedikitnya ada 4.000 anak di bawah usia 16 tahun yang dibawa ke pengadilan.

Kelima, kian maraknya kasus anak-anak yang bunuh diri. Kasus terakhir terjadi pada 9 Juni lalu di Brebes (Jawa Tengah), ketika Khotijah (12), yang masih kelas 5 SD, nekat membakar diri sehingga tewas setelah dimarahi orang tuanya (Media Indonesia, 11/6/4). Kasus Khotijah ini menambah panjang deretan anak yang mencoba bunuh diri. Selama 2003, di Jawa Barat saja sedikitnya ada empat anak -- salah satunya Heryanto (yang sangat fenomenal itu) -- yang berupaya bunuh diri. Dapat dipastikan bahwa pada tahun 2004 ini jumlah akan meningkat. Karena hingga Juni 2004, sedikitnya sudah ada 8 kasus anak yang bunuh diri.

Data-data di atas, barulah sekelumit dari begitu banyaknya reduksi kualitas yang dialami oleh anak-anak kita. Data di atas memperlihatkan kondisi anak-anak kita yang kian egois, emosional, malas, cepat putus asa, tanpa empati, konsumtif, serta hedonis.

Pemberdayaan keluarga

Kondisi ini harus segera diatasi bila ingin bangsa kita yang diwakili oleh anak-anak kita sebagai generasi penerus ini eksis di kancah global. Di era globalisasi ini dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki tiga potensi yaitu 1) dari segi rasionalitas, logika dan kemampuan penalaran, 2) dari segi budaya, rasa dan estetika serta 3) dari segi ketakwaan dan keimanan, moral dan etikanya. Permasalahannya, bagaimana cara untuk mewujudkan ketiga potensi tersebut? Dengan memberdayakan keluarga, dengan membuat keluarga berkualitas, dengan membentuk keluarga cerdas.

Setidaknya ada delapan fungsi keluarga, yang apabila bisa dipenuhi oleh para orang tua diyakini akan mampu membentuk generasi mendatang yang mempunyai kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kedelapan fungsi keluarga tersebut adalah pertama fungsi agama. Fungsi ini akan mengembangkan aspek spiritual berupa kecerdasan spiritual (SQ) dalam diri anak.

Kedua, fungsi sosial budaya yang akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepedulian anak terhadap orang lain. Ketiga, fungsi cinta kasih yang akan mendidik anak untuk memahami perasaan, saling menyayangi antaranggota keluarga. Bersama fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih ini akan mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) anak.

Keempat, fungsi perlindungan yang akan memberi ketenangan dan rasa aman serta menciptakan rasa tenteram dan damai di lingkungan keluarga, sehingga anak akan lebih terbuka membicarakan masalah yang dihadapinya kepada orang tua. Fungsi ini bermanfaat antara lain untuk mencegah kemungkinan anak-anak "melarikan diri" ke narkoba bahkan bunuh diri.

Kelima, fungsi reproduksi yang akan menjaga dan menjamin terciptanya reproduksi yang sehat dan berkualitas. Bagi anak/remaja, fungsi ini akan membantu menghindarkan mereka dari kemungkinan tertular infeksi menular seksual, HIV, juga menghindarkan mereka dari kemungkinan melakukan aborsi.

Keenam, fungsi sosialisasi dan pendidikan yang akan membentuk dan mengembangkan kecerdasan berpikir anak dengan menumbuhkan kreativitasnya, ketekunannya, keinginannya untuk maju dan berkompetisi secara sehat, percaya diri serta bertanggung jawab. Fungsi ini berperan dalam mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ) anak.

Ketujuh, fungsi ekonomi yang antara lain mengajarkan dan melatih sikap hemat dan gemar menabung serta menumbuhkan jiwa berwirausaha sejak dini sehingga anak dapat menghargai nilai ekonomis dari setiap kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya. Kedelapan, fungsi pemeliharaan lingkungan yang mengajarkan dan melatih anak untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan misalnya tidak membuang sampah sembarangan, tidak memetik bunga/pohon sembarangan, dsb.

Namun tidak bisa dimungkiri bahwa keberhasilan keluarga dalam menjalankan kedelapan fungsinya tersebut juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Kemiskinan serta rendahnya tingkat pendidikan orang tua misalnya. Dan tugas pemerintahlah untuk mengatasi faktor-faktor eksternal tersebut. Pemerintah harus berupaya keras menciptakan kondisi yang kondusif (aman, sejahtera) agar setiap keluarga mempunyai kesempatan untuk menjalankan ke delapan fungsinya.

Saya sangat berharap peringatan Hari Keluarga Nasional (29 Juni) kali ini bisa menggugah keluarga-keluarga (yang tentu harus didukung oleh pihak-pihak terkait) untuk meningkatkan kualitas keluarganya menjadi lebih cerdas. Bukankah semuanya telah setuju bahwa hanya melalui keluarga yang cerdaslah dapat dibangun keluarga yang sehat-sejahtera sebagaimana tema Harganas kali ini. Atau... kita ingin seperti sekarang ini saja, di mana anak-anak semakin "liar" bak liarnya Victor, si manusia serigala... sebagai pertanda bahwa mereka diasuh dalam "keluarga serigala". Mudah-mudahan tidak.***

Penulis ibu rumah tangga, penggagas "Forum Studi Pemberdayaan Keluarga" (Family Empowerment Studies Forum).

Delapan Fungsi Keluarga

Posted by Suyanto Ahmad at 08:24
Baru tau, ternyata ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang fungsi keluarga, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa ada delapan fungsi keluarga, yakni:
Fungsi Keagamaan
Jelas sekali bahwa fungsi keluarga adalah untuk memelihara agama dua insan yang berlainan jenis, agar terhindar dari berbagai kemungkaran terkait dengan hubungan dengan lawan jenis
Sosial Budaya
Dengan fungsi ini diharapkan keluarga dapat memelihara dan memperkaya budaya bangsa.
Cinta Kasih
Fungsi ini yang dengan jelas ditegaskan dalam Al Qur'an, yakni mewujudkan mawaddah wa rahmah antara suami dan istri, serta anak-anak sebagai qurrota a'yun.
Melindungi
Yakni terutama melindungi anggotanya dari api neraka. Fungsi melindungi ini juga tersirat dalam pernyataan Allah dalam Al Qur'an, suami adalah pakaian bagi istri dan sebaliknya istri adalah pakaian bagi suaminya.
Reproduksi
Membuat kerangka yang terhormat dalam menjaga kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini
Sosialiasi dan Pendidikan
Mendidik seluruh anggota keluarga, saling menasehati dalam kebaikan.
Ekonomi
Mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Pembinaan Lingkungan
Selain diharapkan untuk dapat hidup selaras dengan kondisi lingkungan, sosial dan budaya sekitarnya, keluarga juga diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pembinaan lingkungan sekitarnya.
Semoga bermanfaat.

Delapan Fungsi Keluarga

Posted by Suyanto Ahmad at 08:24
Baru tau, ternyata ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang fungsi keluarga, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa ada delapan fungsi keluarga, yakni:
Fungsi Keagamaan
Jelas sekali bahwa fungsi keluarga adalah untuk memelihara agama dua insan yang berlainan jenis, agar terhindar dari berbagai kemungkaran terkait dengan hubungan dengan lawan jenis
Sosial Budaya
Dengan fungsi ini diharapkan keluarga dapat memelihara dan memperkaya budaya bangsa.
Cinta Kasih
Fungsi ini yang dengan jelas ditegaskan dalam Al Qur'an, yakni mewujudkan mawaddah wa rahmah antara suami dan istri, serta anak-anak sebagai qurrota a'yun.
Melindungi
Yakni terutama melindungi anggotanya dari api neraka. Fungsi melindungi ini juga tersirat dalam pernyataan Allah dalam Al Qur'an, suami adalah pakaian bagi istri dan sebaliknya istri adalah pakaian bagi suaminya.
Reproduksi
Membuat kerangka yang terhormat dalam menjaga kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini
Sosialiasi dan Pendidikan
Mendidik seluruh anggota keluarga, saling menasehati dalam kebaikan.
Ekonomi
Mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Pembinaan Lingkungan
Selain diharapkan untuk dapat hidup selaras dengan kondisi lingkungan, sosial dan budaya sekitarnya, keluarga juga diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pembinaan lingkungan sekitarnya.
Semoga bermanfaat.

Pembinaan Perilaku Membuang Sampah Untuk Meminimalisir Budaya ‘Terabas’

Permasalahan yang paling sering ditemui di masyarakat perkotaan adalah permasalahan sampah. Permasalahan yang dihadapi seperti pengelolaan sampah yang tidak ada ujung penyelesaiannya, tersumbatnya air akibat tumpukan sampah, berbagai penyakit yang dibawanya, dsb. Penyebab timbulnya permasalahan sampah salah satunya ialah perilaku atau cara masyarakat dalam membuang sampah. Saat ini masyarakat menganggap bahwa kebiasaan membuang sampah sembarangan sebagai perilaku yang wajar. Perilaku ini menunjuk pada budaya ‘terabas’. Perilaku tersebut menyangkut kebiasaan seseorang yang timbul sejak dini sehingga perlu adanya pembinaan secara intensif dan efisien yang difokuskan di sekolah dasar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Situs penelitian ini adalah SDN Purwantoro V dan MI Jendral Sudirman. Fokus penelitian pada bentuk pembinaan membuang sampah yang diterapkan di sekolah dasar, perilaku siswa sekolah dasar yang mendapatkan pembinaan tersebut dalam membuang sampah dan konsep pembinaan perilaku membuang sampah yang tepat bagi siswa-siswa sekolah dasar sehingga bisa meminimalisir budaya terabas. Informan dalam penelitian ini adalah guru SDN Purwantoro V dan MI Jendral Sudirman serta siswa sekolah dasar tersebut
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pembinaan membuang sampah dilakukan melalui pembinaan orientasi, pembinaan pengembangan kepribadian, dan pembinaan lapangan. Sedangkan perilaku siswa setelah mendapatkan pembinaan tersebut berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya yang langsung dipraktekkan baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Konsep-konsep yang telah dikaji dari hasil wawancara berupa penggunaan buku poin, pemanfaatan sampah secara efektif dan efisien, serta penerapan school culture.
Penerapan konsep pembinaan yang dilakukan secara intensif dan kontinyu dan didukung oleh seluruh komponen masyarakat diharapkan akan dapat meminimalisir budaya ‘terabas’.

INTERNET DALAM BINGKAI PENDIDIKAN

PENDAHULUAN
Tahun 1960-an, Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan Proyek ARPA mengembangkan jaringan komputer untuk pertama kalinya. Beberapa komputer mainframe dihubungkan dalam sebuah jaringan. Pada tahapan awal, ARPA menghubungkan empat komputer kerangka yangterletak di Stanford Research Institute, University of California di Los Angeles dan Santa Barbera, dan University of Utah. Tujuan awalnya adalah bagaimana dalam jaringan tersebut, tiap komputer dapat saling mengambil dan memindahkan data melalui beberapa jalur komunikasi yang berlainan. Dalam tahun-tahun berikutnya berbagai macam jaringan komputer dihubungkan kepada ARPANET dan keseluruhan jaringan tersebut membentuk internet.
INTERNET, DUA SISI MATA PEDANG
Di abad teknologi sekarang ini, perkembangannya telah ikut merambah dunia pendidikan. Dengan hadirnya teknologi informasi dalam beragam sisi kehidupan, banyak masalah dan kesulitan dapat teratasi. Akses informasi menjadi mudah dan cepat. Semuanya dapat diperoleh cukup dengan menekan tuts-tuts keyboard di mana saja kita berada.
Dalam konteks ini, mencoba menghadirkan internet dalam ruang pendidikan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi dengan semakin terjangkaunya harga komputer dan pemasangan jaringan, membuat penggunaan internet makin meluas. Dikenallah istilah penetrasi jaringan internet di sekolah dan kampus. Tujuan paling sederhana, adalah bagaimana setiap komponen masyarakat bisa makin akrab dengan komputer dan dunia internet. Sumber-sumber terbatas yang selama ini hanya disediakan oleh sekolah/kampus dan perpustakaan, dapat dilengkapi dengan berselancar di dunia maya. Contoh paling sederhana adalah dengan memanfaatkan situs wikipedia yang menyediakan beragam bahasa yang berfungsi sebagai perpustakaan online.
Dengan internet, semua yang terjadi di belahan dunia dapat dilihat dan diketahui saat itu juga. Semua jenis ilmu pengetahuan dan wawasan menjadi terbuka buat siapa saja. Bahkan, berkomunikasi dengan siapa saja di seluruh pelosok, bukanlah hal yang mustahil.
Perkembangan e-learning (belajar sistem elektronik) dengan virtual school (sekolah virtual), membuat model pendidikan menjadi lebih dinamis, dibanding duduk diam mendengar para pendidik menjelaskan poin demi poin yang ada dalam diktat atau buku cetak. Forum interaktif sebagai sarana percakapan dan berdiskusi dengan orang lain di tempat yang berbeda menjadi salah satu alternatif yang menyenangkan. Membaca buku, artikel dan makalah secara online sambil menikmati musik favorit merepresentasikan cara belajar quantum, seperti yang dipopulerkan oleh bobby de potter.
Namun tidak berbeda dengan semua hal yang diciptakan di dunia ini secara berpasangan, sisi baik dari perkembangan teknologi internet juga dibarengi dengan sisi buruk. Yang paling nyata dan merusak adalah item-item asusila yang tak bermoral dari beragam tinjauan dengan mudah dapat di akses di jaringan internet. Sementara pengguna terbanyak dari fasilitas ini adalah remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan dan pencarian identitas diri.
Maka bukan menjadi hal yang aneh, jika dalam masyarakat ditemukan banyak kasus kerusakan moral dan tindak pidana kejam lainnya yang dilakoni oleh para remaja. Beberapa bahkan melakukan tindak kekerasan pada rekan sebayanya dengan inspirasi yang didapatkan dari game online yang menceritakan tentang vandalisme. Dengan pengaruh pornografi dan pornoaksi, produktifitas belajar para pengguna internet menjadi menurun. Malas, dan hanya mengembarakan hayalan memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tingkat kriminalitas juga menjadi naik, dan membuat keinginan untuk meningkatkan prestasi menjadi mandeg.
Hal lainnya adalah ‘kecanduan’ yang susah diatasi. Chat online di dunia maya selalu ‘mematikan’ waktu tanpa terasa. Jika temanya mendiskusikan tentang pelajaran dan perkembangan inovasi terbaru, atau saling tukar informasi dalam beragam hal mungkin bukan masalah. Namun dalam beberapa survey acak yang dilakukan, kebanyakan netter yang memanfaatkan sarana chat menggunakannya untuk sekedar bergosip ria bahkan menjurus ke pornografi seperti yang sudah disebutkan di atas.
MENGASAH SISI TAJAM
Seperti pedang yang memiliki dua sisi, jika digunakan oleh orang yang tepat maka akan mendatangkan banyak manfaat. Namun, jika dipakai oleh mereka yang kurang bahkan tidak mengerti, jangankan memetik manfaat bisa jai malah akan melukai diri sendiri.
Dengan berimbangnya manfaat dan keburukan dari perkembangan jaringan internet, menuntut para pelakon IT yang masih memiliki kesadaran untuk memaksimalkan fungsi-fungsi positif dan mengeliminir sisi negatifnya. Fungsi paling mendasar yang harus disebarkan adalah menanamkan kesadaran bagi para netter (sebutan bagi pengguna jaringan internet) untuk berpikir ke arah perbaikan dengan adanya jaringan internet ini. Bukan sebaliknya, yang bisa menghancurkan kemapanan masa depan yang sedang diukirnya.
Penyediaan infrastruktur jaringan komputer, multimedia, video conference dan lain-lain harus diikuti dengan kesiapan sumber daya dan pengoptimalan resource yang ada. Sehingga dapat berjalan seiring dengan peningkatan sisi pendidikan yang dapat diambil dari internet. Pembinaan guru dan orang tua di rumah dan sekolah juga menjadi faktor yang berperan penting dalam meng-counter sisi negatif dari jaringan internet ini. Dengan kerja sama seluruh pihak dan elemen masyarakat, maka pemanfaatan internet sebagai media untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam makna yang sesungguhnya bukanlah menjadi hal yang utopi.
Labels: Komunitas Anging Mammiri
Writer: Muhammad Ilham @ 8:57 PM

King, Larry. 2007. Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di Mana Saja (Soft Cover).

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

“Salah satu hal yang saya pelajari adalah: tak seorang pun tak dapat diajak bicara, bila kita memiliki sikap yang tepat. Setelah membaca buku ini, Anda akan mampu mengikuti segala percakapan dengan penuh keyakinan, dan Anda akan tahu cara menyampaikan pesan dengan efektif, dalam situasi apa pun. Anda akan dapat bicara dengan lebih baik dan dapat menikmatinya. Mulailah sekarang juga dan jadilah pembicara yang memesona.”
-Larry King-

Sebagian hal yang akan Anda temukan dalam Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, Di Mana Saja:

+ Kunci sukses bicara dengan orang yang belum dikenal
+ Rahasia sukses pidato dan presentasi
+ Cara jitu menyampaikan berita buruk
+ Mengatasi rasa malu dan membuat orang lain merasa nyaman
+ Memesona dengan humor
+ Apa yang harus dikatakan dalam wawancara pekerjaan
+ Tiga kunci menuju pembicaraan bisnis yang sukses
+ Delapan hal yang dimiliki para pembicara terbaik
+ Bicara efektif di panggung politik
+ Menghadapi media massa
+ Kunci sukses tampil di radio dan TV
+ Seni mengelak

Tidak bisa disangkal, berbicara adalah salah satu keahlian manusia yang sudah dilatih sejak usia balita. Tapi, walaupun terus saja sepanjang hidupnya manusia berbicara, dapat dibedakan antara orang yang “bisa” berbicara dan orang yang “tidak bisa” berbicara. Bisa jadi suara dan kalimat yang muncul dari mulut kita bukan lah sesuatu yang seharusnya, atau bukan suatu yang bermakna, atau tidak ada isinya, atau tidak ada manfaatnya, atau tidak bisa digunakan untuk mengambil manfaat, dan seterusnya. Bahkan peribahasa mengatakan, pedang yang paling tajam adalah lidah kita.
Larry King adalah seorang pembawa acara di CNN, yang acaranya meraih rating tertinggi dan merupakan satu-satunya talk show interaktif yang menjangkau dan dipancarkan di seluruh dunia. Ia sudah berpengalaman dalam profesi pembawa acara, baik di radio, televisi, seminar, dll, selama lebih dari 40 tahun.
Larry King mampu membuat aturan-aturan utama dalam seni berbicara yang menurutnya dapat menjadi kunci sukses menjadi pembicara yang baik, baik itu di dalam konteks keseharian, acara formal, maupun sebagai sebuah profesi, seperti pembawa acara.
Buku Larry King ini disusun dengan format yang menarik, karena tidak melulu bicara tentang teori bagaimana berbicara dengan baik. Bahkan bisa dikatakan hanya sedikit teori, selebihnya adalah tip-tip dan cerita tentang pengalaman King berhadapan dengan orang-orang yang menjadi lawan bicaranya baik di acara-acara talk show maupun pembicaraan tidak resminya. Judul-judul dari isi buku tersebut sangat membuat penasaran, seperti “Percakapan trendi dan ketepatan bahasa politis”, “Tamu terbaik dan terburuk saya serta alasannya”, dan masih banyak lagi.
Bagian cerita tentang pengalaman King dalam menghadapi orang lain, yang tersebar hampir di seluruh penjuru buku, adalah bagian yang paling menarik untuk disimak dan diambil pelajaran. Nampaknya, King memang sengaja menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai alat untuk mempermudah pembaca memahami maksud King. Dari gaya penulisan tersebut, King memberikan tip-tip dan pelajaran bukan dengan apa-apa yang dilakukan oleh dirinya, tetapi dari apa-apa yang dilakukan orang-orang hebat yang ia temui dan berbicara dengan dirinya.
Buku King tentang seni berbicara ini tergolong sebagai buku yang ringkas dan padat, dituliskan dengan bahasa seadanya. Mungkin saja King lebih pandai berbicara daripada menulis, sehingga belum semua idenya dapat dituangkan dalam buku ini. Buku ini bukanlah suatu hasil riset maupun pemikiran mendalam tentang seni berbicara, lebih tepat dikatakan sebagai tip dari King. Karena buku ini mempunyai sudut pandang yang cukup sempit, yaitu King, dan budaya Amerika tentunya. Masih banyak nilia-nilai dan tip dalam berbicara yang belum dielaborasi khususnya yang terkait dengan keragamanan budaya manusia di dunia. Ada baiknya, apabila buku ini ingin menjadi buku internasional yang lebih mapan, nilai-nilai berbicara dari budaya mainstream di dunia juga diberi tempat, sebagai contoh seperti bagaimana orang Jepang berbicara, atau nilai Asia, nilai Afrika, nilai Eropa, dan seterusnya.
Dari banyak sekali pelajaran yang berharga di dalam buku King tersebut, ada beberapa hal yang saya selalu ingat dalam hal seni berbicara, yaitu antusiasme, bertanya, dan diam. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Demokrasi Lokal dan Pemilu Langsung di Daerah

Oleh : Tri Widodo W Utomo
ARUS pemikiran yang menghendaki penguatan dan percepatan proses demokratisasi lokal semakin mengkristal akhir-akhir ini. Salah satu ide dasarnya adalah perlunya pemilu lokal, yang tentu saja, diikuti oleh parpol lokal. Meskipun di berbagai media mulai ramai dengan polemik tentang perlu tidaknya dan untung ruginya sistem pemilu langsung di daerah, namun kecenderungan ke arah sana kelihatannya makin tidak terhindarkan. Hasrat untuk memunculkan parpol dan pemilu lokal sesungguhnya merupakan manifestasi wajar terhadap keinginan banyak pihak untuk lebih menghormati keberadaan dan peran masyarakat sipil dalam sistem politik dan ketatanegaraan di daerah. Terlebih lagi, kebijakan desentralisasi luas lewat UU 22/1999 telah digulirkan yang semestinya turut memperbaiki iklim demokrasi. Namun, tampaknya, UU ini dipandang tidak cukup memberi peluang bagi berkembangnya partisipasi masyarakat secara langsung terhadap proses kebijakan publik di daerah. Akibatnya, muncullah gagasan tentang perlunya pemilu dan parpol lokal sebagai instrumen demokrasi, yang memang sama sekali tidak diatur dalam UU otonomi tadi. Oleh karena itu, secara konseptual ide ini dapat dikatakan sebagai terobosan penting dalam khazanah politik dan administrasi publik di Tanah Air. Namun, untuk dapat operasional, banyak aspek yang perlu dikaji dan dipertimbangkan. Pertama, pada umumnya dapat disimak bahwa para penganjur pemilu dan parpol lokal tidak percaya lagi terhadap fungsi parpol nasional sebagai wadah representasi kepentingan rakyat. Memang harus diakui bahwa para politikus (tokoh parpol) dewasa ini lebih banyak bertikai yang mencerminkan tarik ulur kepentingan internal mereka. Dalam keadaan demikian, wajar sekali jika timbul keraguan tentang efektivitas pemilu dan parpol nasional dalam menghasilkan tata kehidupan yang demokratis dan sosok pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Meski demikian, perlu disadari pula bahwa tidak ada jaminan sama sekali bahwa model demokrasi lokal jauh lebih bersih, aspiratif, dan efektif dibanding demokrasi tingkat pusat. Seorang pengamat Indonesia di Jepang justru melihat politikus lokal sebagai kendala utama bagi proses demokratisasi. Ia mengatakan, ''politikus lokal kebanyakan lebih bersikap tradisional, otoriter, dan didominasi oleh kelas elite daerah yang berwawasan sempit, serta kurang terbiasa dengan proses demokratisasi dan keterbukaan informasi dibanding politikus nasional'' (Kimura, 1999). Di sisi lain, dari berbagai sumber bisa kita amati makin merebaknya korupsi di daerah sejak era otonomi secara luas. Dengan kata lain, gagasan pemilu/parpol lokal yang dipaksakan justru dikhawatirkan hanya memindahkan sekaligus menyebarkan kebusukan di tingkat nasional ke tingkat daerah. Terkait dengan belum matangnya politikus lokal kita ini, mekanisme pemilu lokal oleh parpol lokal boleh jadi menghasilkan demokrasi perwakilan yang memiliki akuntabilitas sangat rendah. Persepsi klasik kita bahwa sistem perwakilan selalu berarti lebih demokratis, dan demokrasi selalu berarti lebih akuntabel, mungkin sekali keliru. *** Kedua, para penganjur demokrasi lokal sering memakai argumen bahwa dalam ukuran kecil seperti negara kota, potensi demokrasi lebih besar ketimbang pemerintahan rakyat dalam ukuran besar. Namun, sesungguhnya paradigma ini sudah lama ditinggalkan, dan banyak negara maju yang melakukan penggabungan daerah-daerah kecil agar menjadi lebih besar, tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Jepang misalnya, dewasa ini sedang giat melakukan amalgamasi dengan target pengurangan municipality dari 3.232 menjadi hanya 257 (Hayashi, 2002). Demikian halnya di Eropa. Di Swedia, unit pemda berkurang dari 1.006 pada tahun 1960-an menjadi 284 pada 1980-an. Sementara itu, pada periode yang sama, jumlah unit pemda di Belgia berkurang dari 2.663 menjadi 589; di Jerman dari 24.282 menjadi 8.426; dan di Inggris dari 1.288 menjadi 457 (Allen, 1990). Singkatnya, tidak ada korelasi positif antara ukuran daerah/negara dan kadar demokrasi. Ketiga, dorongan terhadap demokrasi lokal juga bersumber dari keraguan terhadap efektivitas UU otonomi daerah yang baru, yang hanya berkutat seputar demokratisasi pemerintahan. Sehingga terjadi penjarakan politik yang lebar dengan masyarakat daerah. Namun, sekecil apa pun harus diakui bahwa UU ini telah membawa perubahan yang cukup radikal dalam tata hukum dan tata pemerintahan kita. Kewenangan atau diskresi daerah yang jauh lebih besar dan perimbangan keuangan yang lebih proporsional, adalah dua upaya nyata untuk memberdayakan, memandirikan serta mendemokrasikan daerah. Bahwa grassroot democracy belum terjadi adalah betul, sebab desentralisasi yang ada saat ini baru merupakan desentralisasi tahap pertama (dari pusat kepada daerah). Untuk itu, yang kita butuhkan selanjutnya adalah desentralisasi tahap kedua (dari daerah kepada masyarakat). Namun, jelas dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai pada tahap ini. Jika kita telah sampai pada tahap ini, maka konsep government yang telah berevolusi menjadi governance akan berproses lagi menjadi community governance atau citizen governance (Box, 1998). Dan pada saat itulah, kita semua akan menyaksikan wujud konkret demokrasi yang kita cita-citakan. Keempat, dalam artikel berjudul Budaya Imitasi dalam Birokrasi Lokal, saya melontarkan kritik terhadap kebiasaan untuk menerapkan sistem nasional di tingkat daerah. Salah satunya adalah ide mengadopsi sistem pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan kepala daerah (KDH) secara langsung (SH, 20/12/01). Secara substansial, saya tidak menolak ide pemilihan KDH secara langsung. Namun, terdapat empat hal yang harus dijawab sebelum ide ini dilaksanakan, yaitu ada tidaknya konsep kedaulatan rakyat per daerah, mekanisme pertanggungjawaban KDH, tata laksana hubungan KDH dengan DPRD, serta efektivitas jalannya pemerintahan. Kegagalan menjawab keempat hal ini, bagi saya sama artinya dengan tidak logisnya ide pemilihan langsung. Dan jika sistem pemilihan KDH secara langsung tidak diperlukan, maka pemilu/parpol lokal juga tidak dibutuhkan. Kelima, perlu dicermati secara hati-hati agar demokrasi lokal tidak memperburuk semangat kedaerahan dan egoisme regional. Dalam konsep negara kesatuan, rakyat tidaklah terkotak-kotak berdasarkan batas-batas teritorial. Sehingga rakyat Papua semestinya memiliki hak untuk ikut menentukan format pemerintahan DKI, dan sebaliknya. Akhirnya, ada baiknya isu demokrasi lokal melalui pemilu dan parpol lokal ini dijadikan sebagai wacana dan debat publik sebelum dirumuskan secara formal dalam peraturan perundangan. Kita perlu belajar dari pemberlakuan otonomi daerah yang terburu-buru yang berakibat banyaknya masalah dalam tahap implementasinya. Oleh karena itu, sikap tergesa-gesa perlu dibuang jauh-jauh agar demokrasi yang sedang kita bangun benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak. Dan tidak dipelintir oleh sekelompok elite untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata.*** Tri Widodo W Utomo, Graduate School of International Development, Nagoya University, Jepang

OOGENESIS

Pada wanita, setelah tiba di gonad, sel benih primordial segera berdiferensiasi menjadi oogenium. Oogenium kemudian mengalami beberapa kali mitosis, dan pada akhir perkembangan embrional bulan ketiga setiap oogenium dikelilingi oleh selapis sel epitel yang berasal dari permukaan jaringan gonad, yang nantinya menjadi sel folikuler. Sebagian besar oogenium terus mengalami mitosis, sebagian lain berdiferensiasi dan tumbuh membesar menjadi oosit primer. Oosit primer kemudian mengadakan replikasi DNA dan memasuki proses miosis pertama sampai tahap profase. Pada bulan ke-5 sampai ke-7, jumlah oogenium diperkirakan mencapai 5-7 juta sel. Pada saat itu sel-sel mulai berdegenerasi, sehingga banyak oogenium dan oosit primer berhenti tumbuh dan menjadi atretik. Tetapi oosit primer yang telah memasuki tahap profase miosis pertama tetap bertahan pada stadiumnya dengan dilapisi sel folikuler epital gepeng ( selanjutnya oosit primer dengan sel folikuler primodial ). Folikel primodial tetap pada stadiumnya ( disebut fase istirahat/fase diktioten/ diplotene stage ), sampai sesudah kelahiran dan menjelang pubertas. Jumlahnya pada saat kelahiran sekitar 700 ribu-2 juta folikel. Pada masa pubertas, sambil mulai terbentuknya siklus menstruasi, folkel primordial/ oosit primer mulai malanjutkan pematanganya dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pada saat ovulasi suatu siklus haid normal, yaitu sekitar 2 minggu sebelum terjadi perdarahan haid berikutnya, hanya satu sel folikel yang mengalami pematangan sampai tingkat lanjut dan keluar sebagai ovum yang siap dibuahi. Pertumbuhan atau pematangan diawali dengan pertambahan ukuran oosit primer/folikel primordial menjadi membesar, dan sel-sel epitel selapis gepeng disebut berbeda dalam stadium folikel primer. Awalnya oosit primer berhubungan erat dengan sel folikuler kuboit yang melapisinya, namun selanjutnya terbentuk suatu lapisan mukopolisakarida yang membatasi/memisahkan diantaranya, yang disebut zona pellucida. Kemudian terbentuk juga suatu rongga dalam lapisan folikuler ( antrum folikuli ) yang makin lama makin besar. Tetapi sel-sel folikuler yang berbatasan dengan zona pellucida oosit primer tetap utuh dan menjadi culumus oophorus. Stadium perkembangan ini disebut stadium folikel sekunder. Kemudian antrum folikuli semakin membesar, sementara bagian tepi luar lapisan folikuler mulai dilapisi oleh kedua lapisan jaringan ikat yaitu teka interna ( lapisan seluler, sebelah dalam, yang kemudian menghasilkan hormon estrogen ) dan teka esterna ( lapisan fibrosa, sebelah luar ). Pada stadium ini, folikel disebut sebagai berada dalam stadium sudah matang, disebut sebagai folikel tersier atau folikel deGraaf.

The dangerous from smoke

There are many dangers of smoking to the body, to the immediate family, to the society, to the environment and to the economy. More than 700 chemical additives are found in cigarettes. Some of them are classified as toxic and are not allowed in food
One of the main dangers of smoking is due to Nicotine. Nicotine is found naturally in tobacco. It has no odor and no color. It is, however, both physically and psychologically addictive, and it causes those who use it to want to smoke one cigarette after another.
Smoking is the one of the main cause of death every year. Smoking cause number of smoke related diseases such as lung cancer (Smoking and Lung Cancer), respiratory problems and heart ailments and these dangers of smoking are increasing yearly.
Certain breathing disabilities are also the dangers of smoking. It could also result in a decreased capability to enjoy physical capabilities because of the ailment or side effects like breathing problems. Smoking leads to reduction in life expectancy.
Over the years a smoker will be more likely to develop respiratory ailments, thickening of the arteries, blood clots, cancer of the lung, cervix, larynx, mouth, esophagus, bladder, pancreas, and kidney, and emphysema, as well as exhibit symptoms such as reduced stamina, poor athletic performance, wheezing, coughing, dizziness, and nausea.
In time, a smoker suffers increased resistance to the flow of air into the lungs and reduced lung capacity. Besides these serious problems, prolonged tobacco use leads to stained teeth and fingers and bad breath. Even a smoker's clothes and living quarters tend to smell of tobacco.
Everybody knows that smoking is dangerous. Smoking can damage our body, For Example, your lungs, your brain, and your heart. The poisonous chemicals in a cigarette can cause death. Think about this, if you smoke you won't be able to run fast or jump as high if you can't breathe properly. Another problem is that you can get addicted easily by one of the chemicals called Nicotine. Nicotine can make you feel hyper sometimes. The more you smoke, the more you want to continue to smoke. Your body becomes physically dependent on the drug and begins to crave it.
Everybody knows that smoking is dangerous. Smoking can damage our body, For Example, your lungs, your brain, and your heart. The poisonous chemicals in a cigarette can cause death. Think about this, if you smoke you won't be able to run fast or jump as high if you can't breathe properly. Another problem is that you can get addicted easily by one of the chemicals called Nicotine. Nicotine can make you feel hyper sometimes. The more you smoke, the more you want to continue to smoke. Your body becomes physically dependent on the drug and begins to crave it.

Apakah Merek ?

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan salah satu kunci pertimbangan dalam keputusan bisnis. Merek adalah modal intelektual yang memiliki nilai ekonomi yang dapat ditingkatkan nilainya dalam produk dan teknologi. Merek adalah asset bisnis dan usaha. Merek sangat erat dengan busines image, goodwil dan reputasi. Merek dagang adalah : merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah : merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.


Hukum merek di Indonesia

Di Indonesia undang-undang merek kolonial yaitu sejak tahun 1885 dan diperbaharui dengan UU Merek No.21 tahun 1961, yang kemudian dirubah dengan UU Merek No.19 tahun 1992 dan direvisi kembali dengan UU Merek No.14 tahun 1997yang kemudian menjadi UU Merek No.15 tahun 2001.


Dasar Pemikiran Perlindungan Merek

To Protect Business Reputation and Goodwill;
To Protect Consumer from Deception;
To Prevent the Buying public from purchasing inferior goods or services in the mistaken believe that they originate from or are provided by another trade. (David I.Bainbridge - "Intellectual Property 2nd edition").

Bagaimana masyarakat memperoleh perlindungan merek ?
Melakukan pendaftaran merek dalam lingkup nasional dan internasional.
Mempelajari sistem hukum yang mengatur aspek HKI
Melakukan konsultasi dengan konsultan HKI.

Manfaat Perlindungan Merek
Merek dapat menghasilkan income bagi perusahaan melalui lisensi, penjualan, komersialisasi dari merek yang dilindungi.
Merek dapat meningkatkan nilai atau jaminan dimata investor dan institusi keuangan.
Dalam penjualan atau merger asset merek dapat meningkatkan nilai perusahaan secara signifikan.
Merek meningkatkan performance dan competitiveness/daya saing.
Dengan pendaftaran merek membantu perlindungan dan penegakan haknya.

Alasan Untuk Melakukan Pendaftaran Merek
Hak Eksklusif dalam pasar / ekspor
Posisi market yang kuat
Pengembalian investasi
Kesempatan untuk melisensi atau menjual
Meningkatkan kekuatan dalam bernegosiasi
Memberikan image yang positif bagi perusahaan
Meningkatkan kesempatan untuk memperoleh konsumen dari produk dan jasa.

Roti Tawar

Resep Roti Tawar
bikin 1/3 resep (tapi lupa ukuran cetakannya) jadi deh 1 roti tawar besar, cukup untuk dua hari.. satu tips spy roti ga basah dalamnya: jangan potong saat roti masih panas, karena dijamin roti masih basah dengan suksesnya, he he he

Ingredients:
Note:
Untuk 5 buah roti tawar @ 500 gram
Cetakan roti tawar open top 22 x 12,5 x 8 cm

Terigu Cakra Kembar 1500 gram
Ragi instan 22,5 gram
Air 930 gram
Gula 75 gram
Garam 30 gram
Susu bubuk 60 gram
Shortening atau blue band juga gpp 40 gram
Bread improver 4,5 gram

Directions:
1. Campur semua bahan kering. Masukkan air, aduk hingga adonan menyatu Masukkan shortening, aduk hingga kalis.
2. Istirahatkan kurleb 10 menit.
3. Bagi adonan dengan berat 500 gram, lalu bulatkan.
4. Istirahatkan lagi selama kurleb 10 menit.
5. Buang gasnya, lalu gulung, kemudian masukkan ke cetakan roti tawar yang sudah dioles dengan pemoles loyang.
6. Istirahatkan selama kurleb 90 menit hingga adonan cukup mengembang.
7. Panggang di oven pada suhu 220 derajat Celcius selama 25 menit.

PERAN KEPEMIMPINAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASIONAL

Audith M Turmudhi
(Dosen STMIK-AMIKOM Yogyakarta)
Dimuat di Jurnal “Manajerial” STMIK-AMIKOM Yogyakarta vol. 2, no. 2, September 2006

Abstract

The fast changing of organizational environment which is driven by competition, economical, political, globalization, social-demographical, and ethical forces must be responded through appropriate organizational change. There are four targets of organizational change should be considered i.e. organizational structure, physical setting, technology, and people. And the constraints which are able to threat the success of change effort are organizational systems and power, the differences of functional orientation and mechanical organizational structure, cultural inertia, group norms and cohesiveness, and group think and individual obstacle. In order that organizational change runs successfully, the effort should be led by a strong, visionary, intelligent, and development-oriented leadership.



Perubahan lingkungan organisasi – eksternal maupun internal – adalah suatu keniscayaan, dahulu maupun sekarang. Namun di masa sekarang, kecepatan dan intensitas perubahan lingkungan tersebut pada umumnya berlangsung begitu tinggi, penuh dinamika dan turbulensi. Bahkan, seringkali bersifat diskontinyu sehingga bukan saja menyulitkan, tetapi dapat mengancam keberlangsungan hidup suatu organisasi.
Jelaslah, perubahan lingkungan (environmental change) akan mengakibatkan tekanan pada organisasi untuk melakukan perubahan organisasional (organizational change). Di tengah kuatnya arus perubahan lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi tersebut niscaya akan terseok, bahkan akan mati terlindas hukum besi perubahan.
George dan Jones (2002) menyebutkan sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong perubahan, yakni kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi, kekuatan sosial-demografik, dan kekuatan etikal. Dewasa ini persaingan dalam dunia bisnis berlangsung semakin sengit. Dinamika ekonomi dan politik nasional, regional maupun global bergerak sangat fluktuatif dan penuh kejutan. Globalisasi ekonomi dan budaya yang dipicu oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan transportasi telah menyebabkan dunia ini bagaikan desa global (global village). Perubahan struktur demografik dan sosial berlangsung secara sangat signifikan. Dan di tengah semua itu mencuat pula di sana-sini kesadaran etik masyarakat yang menuntut ditegakkannya perilaku etis dalam dunia kerja, bisnis, dan politik.
Sementara, pada lingkungan internal organisasi, perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan rata-rata karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka dalam bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih manusiawi, peluang aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih menyenangkan, cara kerja yang lebih fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih terbuka, dan sebagainya.

Hambatan-hambatan Perubahan
Namun, perubahan organisasional bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak kendala yang bisa menghadang dan memacetkan program-program perubahan. Sejumlah kendala yang ditengarai oleh George dan Jones (2002:645-646) adalah: (1) kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaan-perbedaan dalam orientasi fungsional dan struktur organisasi yang mekanistik, (3) kelembaman (inertia) kultur organisasi, (4) norma dan kohesivitas kelompok, (5) pemikiran kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, ketidakamanan, persepsi selektif, dan retensi kebiasaan.
Mekanisme yang telah tertanam untuk menghasilkan kemantapan dalam beroperasinya suatu organisasi -- yang diberlakukan dalam sistem seleksi karyawan, sistem pelatihan, sistem penilaian kinerja, sistem reward dan punishment, sistem informasi, sistem keuangan, sistem pengambilan keputusan, dan lain-lain -- akan menghasilkan suatu inertia ketika menghadapi perubahan. Pola hubungan-hubungan kekuasaan yang telah mapan dan mendatangkan sejumlah privileges bagi para pelakunya juga dapat menghambat upaya perubahan yang mengarah pada redistribusi wewenang pengambilan keputusan. Para manajer dan supervisor yang menikmati kewenangan yang luas mungkin merasa terancam dengan akan diberlakukannya sistem pengambilan keputusan partisipatif atau diterapkannya tim kerja swakelola.
Orientasi fungsional yang berbeda pada tiap-tiap departemen atau bagian organisasi juga dapat mempersulit terbangunnya kesamaan visi perubahan. Sebagai contoh, departemen keuangan yang lebih berorientasi pada efisiensi biaya mungkin akan menolak ide perubahan teknologi yang diusulkan departemen produksi yang ingin mengejar kuantitas dan kualitas poduksi yang lebih tinggi yang akan berakibat pada meroketnya anggaran. Contoh lain, usulan perubahan desain produk oleh departemen pemasaran berdasarkan hasil riset pasar, bisa jadi kurang direspons positif oleh departemen produksi jika dirasa hanya akan menimbulkan kerepotan dalam proses produksi. Begitulah, masing-masing departemen atau divisi cenderung mengedepankan kepentingan atau mission diri sendiri. Validitas gagasan perubahan akan dinilai pertama-tama dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Biasanya, egoisme departemental atau divisional tersebut tumbuh subur dalam struktur organisasi yang mekanistik.
Budaya organisasi, sebagaimana disebutkan hampir 60 tahun yang lalu oleh Selznick (1948), merupakan variabel independen yang sangat memengaruhi perilaku karyawan. Nilai-nilai yang sudah terlembagakan melalui praktik perilaku organisasional dalam kurun waktu yang cukup lama akan menjadi panduan otomatis perilaku para karyawan. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat, yakni yang ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai inti organisasi secara intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut (Wiener, 1988), akan menyulitkan suatu perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilai-nilai inti tersebut. Dengan demikian, suatu organisasi yang sudah berpuluhtahun mempraktikkan nilai-nilai budaya korup, etos kerja medioker atau bahkan minimalis, dan business ethics yang rendah sudah barangtentu tidak mudah untuk berubah menjadi organisasi yang berbudaya etis, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, beretoskerja tinggi, dan berorientasi pada keunggulan.
Kelompok-kelompok kerja, formal maupun non-formal juga dapat menjadi penghalang upaya perubahan. Individu-individu yang ingin mengubah perilaku kerjanya besar kemungkinan akan dihambat oleh norma kelompok yang tidak sejalan. Tekanan kelompok dapat mengerem usaha-usaha individual maupun program perubahan organisasional. Kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi yang merasa terancam akan kehilangan kenyamanannya atas penguasaan suatu sumber daya organisasi mungkin akan melakukan perlawanan.
Kebiasaan berpikir para pimpinan dan segenap karyawan dalam menganalisis situasi dan merespons masalah dapat memerangkap mereka dalam pola-pola pikir konvensional-organisasional (group think). Hal itu akan cenderung menghalangi munculnya pemikiran segar yang diperlukan untuk perubahan. Dalam keadaan demikian, penglihatan masalah dari sudut pandang yang berbeda dan pengajuan alternatif solusi yang sama sekali lain, sulit muncul. Gagasan-gagasan baru, darimanapun datangnya, cenderung dicurigai.
Akhirnya, hambatan perubahan juga sering muncul dari keengganan individual yang berasal dari faktor kebiasaan, ketidaksiapan, terusiknya rasa aman, kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan dan bertambahnya kerepotan, ketakutan terhadap hal-hal yang belum dikenali, dan persepsi negatif yang berasal dari informasi mengenai kegagalan-kegagalan upaya perubahan.

Bidang Sasaran Perubahan
Pada dasarnya ada empat bidang organisasional yang bisa menjadi sasaran perubahan, yaitu struktur organisasi, teknologi, setting fisik, dan sumber daya manusia (Robertson et. al., 1993).
Hal-hal yang bersifat struktural seperti pembagian kerja, sistem-sistem operasi, rentang kendali, dan desain organisasi jika dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat diubah. Dapat dipertimbangkan perlunya dilakukan perubahan uraian pekerjaan (job description), pengayaan pekerjaan (job enrichment), pelenturan jam kerja, dan penerapan sistem imbalan yang lebih berbasis kinerja atau profit sharing. Tanggungjawab departemental dapat digabung demi keefektifan dan efisiensi. Beberapa lapisan vertikal dapat dihilangkan dan rentang kendali diperlebar demi mengurangi birokratisasi dan menambah daya responsi organisasi terhadap dinamika lingkungan. Aturan-aturan/prosedur yang dirasa menghambat kinerja bisa dipangkas, diganti dengan aturan-aturan/prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan standardisasi. Proses pengambilan keputusan juga dapat dipercepat dengan meningkatkan desentralisasi. Bahkan, jika desain organisasi dengan struktur sederhana (simple structure) dinilai tidak lagi memadai, perlu dipertimbangkan memodifikasinya menjadi stuktur matriks, struktur tim, atau bentuk lainnya.
Mengubah teknologi seringkali diperlukan demi efektivitas kerja karyawan dan peningkatan kinerja organisasi. Perubahan teknologis biasanya meliputi mesin-mesin, peralatan kerja, metode kerja, dan yang paling mencolok dewasa ini adalah otomatisasi atau komputerisasi. Otomatisasi menggantikan orang dengan mesin yang dapat bekerja lebih cepat, lebih akurat dan lebih murah. Sistem informasi yang canggih memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan informasi secara menakjubkan.
Mengenai perubahan setting fisik, bukti empirik menunjukkan bahwa memang tidak sertamerta hal itu berdampak besar pada kinerja individu maupun organisasi (Steele, 1986). Meskipun demikian, setting fisik tertentu terbukti dapat membantu atau merintangi karyawan-karyawan tertentu dalam berkinerja, sehingga dengan mengubahnya secara tepat kinerja karyawan dan organisasi dapat ditingkatkan (Porras dan Robertson, 1992). Tata letak ruang kerja dan peralatan serta desain interior yang dirancang dengan baik akan membantu membangun suasana dan keefektifan kerja. Karyawan akan mudah saling berkomunikasi dalam ruang kantor dengan desain terbuka, tanpa sekat-sekat dan dinding. Kenyamanan untuk produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh intensitas pencahayaan, suhu ruangan, kebisingan, kebersihan, dekorasi maupun warna dinding.
Akhirnya, bidang sasaran perubahan yang paling crucial adalah sumber daya manusia (SDM), baik secara individual, kelompok maupun keseluruhan anggota organisasi. Sebagai asset terpenting dan faktor kunci keberhasilan suatu organisasi, SDM perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih khusus. Perubahan SDM bisa terjadi meliputi penggantian orang (turnover), mutasi, promosi, demosi; perubahan sikap, motivasi, dan perilaku kerja; peningkatan pengetahuan dan ketrampilan kerja; dan perubahan nilai-nilai budaya organisasional yang menjadi dasar acuan perilaku segenap anggota organisasi.

Kepemimpinan yang Diperlukan untuk Perubahan
Mengingat pentingnya upaya perubahan organisasional di tengah lingkungan yang berubah cepat dan bahkan acapkali bersifat diskontinyu, dan mengingat strategis dan krusialnya bidang-bidang sasaran perubahan serta kompleksnya faktor-faktor yang dapat merintangi upaya perubahan, maka perubahan organisasional seringkali tidak dapat dibiarkan terjadi secara “alamiah” saja. Perubahan seringkali perlu dirancang, direkayasa dan dikelola oleh suatu kepemimpinan yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan -- sebagai agen perubahan.
Perubahan memerlukan kepemimpinan yang kuat dari segi otoritas yang dimilki maupun dari segi kepribadian dan komitmen karena memimpin perubahan dengan segala kompleksitas permasalahan dan hambatannya memerlukan power, keyakinan, kepercayaan diri, dan keterlibatan diri yang ekstra. Seperti yang disebutkan oleh Zaleznik (1986), seorang pemimpin tidak boleh bersikap impersonal, apalagi pasif terhadap tujuan-tujuan organisasi, melainkan harus mengambil sikap pribadi dan aktif. Dengan begitu ia tidak akan mudah patah oleh hambatan dan perlawanan. Ia justru akan bergairah menghadapi tantangan perubahan yang dipandangnya sebagai batu ujian kepemimpinannya (Maxwell, 1995).
Pemimpin perubahan juga harus visioner karena ia harus sanggup melihat cukup jauh ke depan ke arah mana kapal organisasi harus bergerak. Kotter (1990) menyebutkan bahwa memimpin perubahan harus dimulai dengan menetapkan arah setelah mengembangkan suatu visi tentang masa depan, dan kemudian menyatukan langkah orang-orang dengan mengomunikasikan penglihatannya dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Semua itu dilakukan tanpa harus bersikap otoriter. Namun, meskipun ia mengundang partisipasi pemikiran dari anggota, tongkat kepemimpinan tetaplah berada di tangannya.
Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk kepemimpinan perubahan. Tanpa kecerdasan yang baik, ia akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan. Kecerdasan sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai memilih strategi dan menetapkan program-program perubahan dan mengilhami teknik-teknik pengatasan masalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasional yang ada berserta dinamikanya. Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang multi-dimensional, yang pada intinya meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Dengan kecerdasan intelektual berarti ia memiliki pengetahuan, wawasan, dan kreativitas berpikir yang diperlukan. Dengan kecerdasan emosional berarti ia pandai mengelola emosi diri maupun emosi orang lain, sehingga proses perubahan dapat berjalan efektif (Cooper dan Sawaf, 1997). Dan dengan kecerdasan spiritual berarti ia memiliki kesadaran etis yang tinggi sehingga tujuan perubahan tidak semata demi peningkatan efektivitas organisasi namun juga demi tertunaikannya tanggungjawab moral dan etik (moral & ethical responsibility) kepada semua stakes-holders (Hendricks dan Ludeman, 2003).
Sebagai syarat keempat, yang lebih spesifik untuk kepemimpinan di tengah dunia yang berubah, adalah perilaku kepemimpinan yang berorientasi pengembangan, yaitu kepemimpinan yang menghargai eksperimentasi, mengusahakan munculnya gagasan-gagasan baru, dan menimbulkan serta melaksanakan perubahan (Ekvall dan Avronen, 1991). Pemimpin demikian akan mendorong ditemukannya cara-cara baru untuk menyelesaikan urusan, melahirkan pendekatan baru terhadap masalah, dan mendorong anggota untuk memulai kegiatan baru.
Begitulah, di tengah gencarnya perubahan lingkungan, tanpa upaya perubahan organisasional yang tepat di bawah kepemimpinan yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan, suatu organisasi akan berjalan terseok, bahkan mungkin akan mati didera kuatnya arus perubahan.

*****

DAFTAR PUSTAKA

Cooper, Robert K. dan Sawaf, Ayman, Excecutive EQ: Emotional Intelligence in Leadership & Organization, New York: Grosset/Puttnam, 1997.
Ekvall, G. dan Arvonen, J. “Change-Centered Leadership: An Extension of the Two-Dimensional Model,” Scandinavian Journal of Management, Vol. 7, No. 1 (1991).

George, Jenifer M., Gareth R Jones, Organizational Behavior, 3rd edition, Prentice Hall International Incorporation, New Jersey, 2002.

Hendricks, Gay dan Ludeman, Kate, The Corporate Mystic (terjemahan), Bandung: Kaifa, 2003

Kotter, J. P., A Force for Change: How Leadership Differs from Management, New York: Free Press, 1990.

Maxwell, John C., Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda (terjemahan), Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.

Porras, J. I. dan Robertson, P. J., “Organizational Development: Theory, Practice, and Research,” dalam M.D. Dunnette dan L.M. Hough (ed.), Handbook of Industrial & Organizational Psychology, ed. ke-2, Vol. 3 (Palo Alto: Consulting Psychologist Press, 1992).
Robertson, P. J., Roberts, D. R., dan Porras, J. I., “Dynamics of Planned Organizational Change: Assessing Empirical Support for a Theoretical Model,” Academy of Management Journal (Juni 1993).

Selznick, P., “Foundation of the Theory of Organizations”, American Sociological Review (Februari 1948).

Steele, F., Making and Managing High-Quality Workplaces: An Organizational Ecology, New York: Teachers College Press, 1986.

Wiener, Y., “Forms of Values Systems: A Focus on Organizational Effectiveness and Cultural Change and Maintenance”, Academy of Management Review (Oktober 1988).

Zaleznik, A., “Excerpts from Managers and Leaders: Are They Different?”, Harvard Business Review (Mei-Juni 1986).

Vid Clip for Free

THALASEMIA

Bambang Permono, IDG Ugrasena, Mia Ratwita A
Divisi Hematologi – Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo

BATASAN
Thalassemia adalah suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai polipeptid yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.

PATOFISIOLOGI
Molekul globin terdiri atas sepasang rantai- dan sepasang rantai lain yang menentukan jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A (merupakan > 96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai- dan 2 rantai- = 22), Hb F (< 2% = 22) dan HbA2 (< 3% = 22). Kelainan produksi dapat terjadi pada ranta- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), maupun kombinasi kelainan rantai- dan rantai- (-thalassemia).
Pada thalassemia-, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan kekurangan pembentukan 22 (Hb A); kelebihan rantai- akan berikatan dengan rantai- yang secara kompensatoir Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoesis).

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan.
Pemeriksaan fisis
Pucat
Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
Dapat ditemukan ikterus
Gangguan pertumbuhan
Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
Pemeriksaan penunjang
Darah tepi :
Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
Retikulosit meningkat.
Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :
Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.
Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
Pemeriksaan khusus :
Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).
Pemeriksaan lain :
Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

DIAGNOSIS BANDING

Thalasemia minor :
anemia kurang besi
anemia karena infeksi menahun
anemia pada keracunan timah hitam (Pb)
anemia sideroblastik

PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 g/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun
3. Suportif
Transfusi darah :
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tualang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
3. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Tumbuh kembang, kardiologi, Gizi, endokrinologi, radiologi, Gigi

PEMANTAUAN
1. Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.
Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.


2. Tumbuh Kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang penderita.

DAFTAR PUSTAKA
Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia. In: Dacie JV, Lewis SM, eds. Practical Hematology. 8th ed. Churchill Livingstone Edinburgh, 1995 : 249.

Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the Clinical Management of Thalassaemia. Thalassaemia International Federation, April 2000.

Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassaemia. In : Compliance to Iron Chelation Therapy With Desferrioxamine. Thalassaemia International Federation 2000 : 14-6.

Miller DR. Baehner RL, Mc. Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 1997 : 619.

Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 979.

Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah lengkap Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) Jakarta, 1999 : 293-6.

China


z-Bottom of Form;z-Top of Form;HTML Markup;Comment;CLIMATE: China lies mainly in the northern temperate zone under the influence of monsoon. From September and October to March and April next year monsoon blow from Siberia and the Mongolia Plateau into China and decrease in force as it goes southward, causing dry and cold winter in the country and a temperature difference of 40 degree centigrade between the north and south. The temperature in China in the winter is 5 to 18 degree centigrade lower than that in other countries on the same latitude in winter. Monsoon blows into China from the ocean in summer, bringing with them warm and wet currents, thus rain. Great differences in climate are found from region to region owing to China's extensive territory and complex topography. The northern part of Heilongjiang Province in northeast China has no summer, Hainan Island has a long summer but no winter; the Huaihe River valley features four distinct seasons; the western part of the Qinghai-Tibet Plateau is covered by snow all year round; the southern part of the Yunan-Guizhou Plateau is spring-like all the year; and the northwestern inland region sees a great drop of temperature in the day. Annual precipitation also varies greatly from region to region; it is as high as 1,500 millimeters along the southeastern coast. Decreasing landward, it is less than 50 millimeters in northwest China.
z-Bottom of Form;z-Top of Form;HTML Markup;Comment;NATIONALITIES: The People's Republic of China is a unified, multi-national country, comprising 56 nationalities. The Han people make up 91.02 percent of the total population, leaving 8.98 percent for the other 55 ethnic minorities. They are Mongolian, Hui, Tibetan, Uygur, Miao, Yi, Zhuang, Bouyei, Korean, Manchu, Dong, Yao, Bai, Tujia, Hani, Kazak, Dai, Li, Lisu, Va, She, Gaoshan, Lahu, Shui, Dongxiang, Naxi, Jingpo, Kirgiz, Tu, Daur, Mulam, Qiang, Blang, Salar, Maonan, Gelo, Xibe, Achang, Pumi, Tajik, Nu, Ozbek, Russian, Ewenki, Benglong, Bonan, Yugur, Jing, Tatar, Drung, Oroqen, Hezhen, Moinba, Lhoba and Gelo. All nationalities in China are equal according to the law. The State protects their lawful rights and interests and promotes equality, unity and mutual help among them.FAMILY NAMES: Chinese family names came into being some 5,000 years ago. There are more than 5,000 family names, of which 200 to 300 are polular. The order of Chinese names is family name goes first, following by given name. For instance, the family name of a person is Wang, given name is Dong, his/her full name would be Wang Dong . The most popular Chinese family names are LI, ZHANG, WANG, LI, ZHAO, LIU, CHEN. According to the most recent official statistics, the three most popular family names are: LI, WANG and ZHANG, occupied 7.9% (97million), 7.4 and 7.1 of total population in China respectively.RIVERS: China has 50,000 rivers each covering a catchment area of more than 100 square kilometers, and 1,500 of them cover a catchment area exceeding 1,000 square kilometers. Most of them flow from west to east to empty into the Pacific Ocean. Main rivers include the Yangtze (Changjiang), Yellow (Huanghe), Heilong, Pearl, Liaohe, Haihe, Qiangtang and Lancang. The Yangtze of 6,300 kilometers is the longest river in China. The second longest Yellow River is 5,464 kilometers. The Grand Canal from Hangzhou to Beijing is a great water project in ancient China. It is of 1,794 kilometers, making it the longest canal in the world.RELIGIONS: China is a multi-religious country. Buddhism, Taoism, Islam, Catholicism and Protestantism, with the first three being more wide spread.Various religions exert different influence on different ethnic groups. Islam is followed by the Hui, Uygur, Kazak, Kirgiz, Tatar, Dongxiang, Salar and Bonan nationalities; Buddhism and Lamaism are followed by the Tibetan, Mongolian, Dai and Yugur nationalities; Christianity is followed by the Miao, Yao and Yi nationalities; Shamanism is followed by the Oroqen, Ewenki and Daur nationalities; the majority Han nationality believes in Buddhism, Christianity and Taoism.
z-Bottom of Form;z-Top of Form;HTML Markup;Comment;HISTORY: China, one of the four oldest civilizations in the world, has a written history of 4,000 years and boasts rich cultural relics and historical sites. It is the inventor of compass, paper-making, gunpowder and printing. · The Great Wall, Grand Canal and Karez irrigation system are three great ancient engineering projects built 2,000 years ago. Now they are the symbols of the rich culture of the Chinese nation. China has gone over a long history of primitive society, slavery society, feudal society and semi-feudal semi-colonial society and the present socialist society. · Chinese Dynasties and · Chinese Historic RelicsSTATE ORGANS:
The National People's Congress (NPC) (Click For Chinese Language Version of the NPC Site)The President of the People's Republic of China: Hu Jintao The State Council (Chinese Government Website)The Central Military CommissionThe Supreme People's CourtThe Supreme People's Procuratorate (website in Chinese)
z-Bottom of Form;z-Top of Form;HTML Markup;Comment;LANGUAGES: The national language is Putonghua (the common speech) or Mandarin, which is one of the five working languages at the United Nations. Most of the 55 minority nationalities have their own languages. Cantonese is one of the local dialects of southern China. As a written language, Chinese has been used for 6,000 years.

Pembangunan Hukum Yang Market-Friendly

Salah satu arah Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum yang tercakup dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu pernyataan eksplisit bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melakukan pilihan untuk mengembangkan suatu sistem hukum yang mendukung ekonomi pasar (market economy). Penggunaan hukum secara sadar untuk mengubah atau mengembangkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang mendukung ekonomi pasar tersebut memang dimungkinkan mengingat hukum dapat difungsikan sebagai “a tool of social engineering”, suatu alat untuk merekayasa sosial. Disamping hukum, memang masih dapat diperdebatkan kemungkinan adanya faktor-faktor lain seperti ekonomi dan penggunaan teknologi dalam kemunculan suatu perubahan yang dikehendaki. Namun sekurang-kurangnya, sebagaimana pendapat Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, hukum dapat digolongkan ke dalam faktor penggerak mula, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara sistematik1.
Tulisan ini berkehendak untuk mengukur seberapa efektif pembangunan hukum di Indonesia dalam mengembangkan sistem hukum yang mendukung perekonomian, serta bagaimana sistem hukum Indonesia yang mendukung ekonomi pasar tersebut dikembangkan dan apakah realitas telah memperlihatkan upaya-upaya yang sesuai sebagaimana yang diharapkan. Untuk mempermudah pembahasan, makalah ini meminjam model yang dikemukakan Cheryl W Gray2 mengenai prasyarat agar suatu sistem hukum dapat berfungsi dengan baik. Dalam publikasi The World Bank Poverty Reduction and Economy, Cheryl W Gray dalam tulisannya yang berjudul “Reforming Legal Systems in Developing and Transition Countries”, menyatakan bahwa terdapat tiga prasyarat penting yang perlu diperhatikan agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik dalam suatu ekonomi pasar, yakni tersedianya hukum yang ramah terhadap pasar (market-friendly laws), adanya kelembagaan yang mampu secara efektif menerapkan dan menegakkan hukum yang bersangkutan; dan adanya kebutuhan dari para pelaku pasar atas hukum dan perundang-undangan dimaksud3.
Hukum Yang Market-Friendly
Prasyarat utama yang diperlukan untuk dapat mengembangkan sistem hukum yang dapat berfungsi dengan baik (well-functioning) bagi suatu ekonomi pasar adalah mempersiapkan seperangkat hukum tertulis yang secara jelas dan jernih mampu menunjukkan batasan-batasan hak serta pertanggungjawaban individual dan yang relevan dengan kebijakan ekonomi yang pro mekanisme pasar. Upaya mewujudkan prasyarat ini bukanlah merupakan tugas yang sederhana, terutama bagi negara Republik Indonesia. Hal ini berkenaan dengan kondisi obyektif Indonesia yang masih merupakan negara berkembang yang berada pada masa transisi menuju ekonomi pasar dan terbatasnya kemampuan dalam melakukan analisis masalah serta pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi.
Faktor lain yang berpengaruh adalah kurangnya pengembangan prinsip-prinsip pertanggungjawaban terutama menyangkut kapasitas dan akuntabilitas fidusier (fiduciary capacity dan fiduciary accountability). Misalnya dalam pertanggungjawaban badan hukum pelaku usaha yang berupa Perseroan Terbatas (PT), meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), namun kurang dapat diaplikasikan secara mudah mengingat tidak adanya yurisprudensi berkenaan dengan masalah yang bersangkutan. Ketentuan mengenai tanggung jawab direksi (fiduciary duties) dan kemungkinan penghapusan tanggung jawab terbatas suatu PT (Piercing The Corporate Veil) telah diatur dalam UUPT masing-masing Pasal 85 dan Pasal 3 ayat (2). Pasal 85 UUPT mengatur bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Sedangkan Pasal 3 ayat (2) UUPT mengatur kemungkinan dikecualikannya prinsip tanggung jawab terbatas PT dalam hal-hal sebagai berikut :
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
Pemegang Saham baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
Pemegang Saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
Pemegang Saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Namun melihat kasus-kasus yang muncul berkenaan dengan permasalahan tersebut, penanganannya jauh dari ketentuan yang telah diatur dalam UUPT, contohnya adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang termasuk penyalahgunaan utang atau pinjaman perusahaan oleh pemegang saham. Kasus lainnya adalah kasus kepailitan PT Mustika Niagatama (salah satu perusahaan Ongko Group) yang diindikasikan sebagai paper company, karena begitu minimnya asset PT Mustika Niagatama dibandingkan dengan jumlah kewajibannya. Fakta demikian muncul menjadi sorotan utama dalam laporan kurator, bahwa aset likuid PT Mustika Niagatama hanya Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), sedangkan total utang yang dimiliki Rp 2.600.000.000.000,- (dua trilyun enam ratus milyar rupiah). Istilah Paper Company sendiri adalah suatu perusahaan yang di atas kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan sebagai penarik dana pinjaman bagi perusahaan lain dalam satu kelompok untuk mengelabui rambu-rambu perbankan, tidak menjalankan usaha sebagaimana layaknya PT. Memperhatikan pengertian dari paper company tersebut, maka pemegang saham PT Mustika Niagatama dapat dikenakan “Piercing The Corporate Veil”.
Di lain pihak, terutama berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan sebenarnya pemerintah telah mengupayakan pengembangan prinsip-prinsip pertanggungjawaban sebagai sarana untuk memulihkan praktek bisnis dan iklim berusaha yang sehat. Hal ini terlihat dari dicanangkannya prinsip-prinsip Good Governance dalam birokrasi pemerintahan dan Good Corporate Governance bagi kalangan bisnis, diberlakukannya Fit & Proper Test dalam pemilihan Komisaris, Direksi dan Pejabat Eksekutif, serta diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum yang baru, yakni PBI No. 2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000, mempunyai semangat yang sama, terutama dalam hal penyempurnaan ketentuan bank umum dalam mencapai tujuan self regulatory banking (sistem perbankan yang disiplin) dan mendukung pelaksanaan risk-based supervision (pengawasan yang difokuskan pada resiko bank). Penyempurnaan tersebut merupakan upaya bagi implementasi prinsip-prinsip pokok pengawasan bank yang efektif dengan mengacu pada 25’s Core Principles for Effective Banking Supervision yang direkomendasikan Basle Committee.
Tantangan berat lainnya bagi Indonesia dalam mewujudkan prasyarat pembentukan hukum yang market-friendly adalah kenyataan sebagaimana dikaji oleh Thomas M Franck bahwa pembentukan hukum di negara berkembang menghadapi persoalan untuk melaksanakan secara bersamaaan tiga tahap pembangunan hukum berkenaan dengan politik yang dilewati negara-negara modern industrialis, yakni tahap unifikasi, industrialisasi dan tahap social welfare4. Dengan kata lain Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang cenderung mengarahkan dirinya kepada negara yang mendukung ekonomi pasar membutuhkan para pemimpin masyarakat yang mempunyai keahlian khusus, yakni mampu melakukan perencanaan, rekonsiliasi, penyesuaian dan penyeimbangan ketiga tahap pembangunan hukum dimaksud. Ketiga tahapan tersebut merupakan pendekatan yang dikemukakan oleh Professor Organski5, yakni tahap pertama berupa unifikasi dimana yang menjadi permasalahan adalah integrasi politik dari suatu masyarakat atau pembentukan negara kesatuan. Tahap kedua berupa industrialisasi, dimana yang menjadi permasalahan utama adalah perjuangan modernisasi ekonomi dan politik, dan dalam tahap ini pemerintah dituntut untuk berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan elit baru, antara lain para professional di bidang industri dan mempromosikan prinsip-prinsip akumulasi modal. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pergeseran peranan pemerintah untuk menjadi pelindung masyarakat dari kekerasan kehidupan industri dengan mengagendakan program-program kesejahteraan.
Sebagai contoh aktual di Indonesia misalnya bagaimanapun optimisnya pendapat pemerintah mengenai kesatuan dan persatuan negara Republik Indonesia, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dengan terjadinya berbagai kejadian yang mengarah disintegrasi, seperti lepasnya propinsi Timor Timur melalui referendum, bergejolaknya Aceh dan Ambon, masih menunjukkan adanya problem unifikasi. Kasus lain dapat dikemukakan, yakni berkenaan dengan akomodasi kepentingan politik dan ekonomi di seputar pembentukan dan aplikasi Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Keniscayaan dilakukannya secara bersamaan ketiga tahap pembangunan hukum berkenaan dengan permasalahan politik dan ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas, untuk dapat mendorong hasil yang diinginkan pada gilirannya menghendaki juga adanya tipe-tipe baru hukum atau undang-undang, para professional dan institusi-institusi hukum. Oleh karena itu relevan dalam hal ini untuk meminjam hipotesis operasional Thomas M Franck yang dapat difungsikan sebagai prakondisi, bilamana Indonesia akan menciptakan tipe-tipe baru hukum atau undang-undang, professional dan institusi hukum, yakni sebagai berikut:
Perlunya mempertinggi kepekaan para professional hukum, hakim dan pembuat undang-undang untuk memperjuangkan nilai-nilai kesatuan bangsa, perkembangan ekonomi dan keadilan sosial.
Baik proses pembuatan keputusan yang bersifat yudisial maupun kuasi-yudisial serta proses regulasi dan rekonsiliasi yang bersifat legal maupun kuasi-legal di negara berkembang tidak dapat terelakkan akan terpusat kepada pencarian secara bersama-sama dan simultan nilai kesatuan, perkembangan ekonomi dan keadilan sosial. Upaya pencarian tersebut sama pentingnya dengan tugas untuk mendamaikan perbedaan yang muncul dari ketiga model perkembangan dan penemuan gabungan yang cocok bagi ketiga nilai dimaksud dalam kasus-kasus tertentu.
Ketersediaan data-data yang relevan akan sangat menentukan, dimana pertentangan nilai yang cenderung memperluas konflik akan dipersempit dengan adanya data-data yang mencukupi. Dalam hal ini pengambilan keputusan yang efektif diperlukan tidak saja bagi para professional hukum, namun juga bagi saintis maupun pengamat-pengamat ekonomi.
Upaya memperjuangkan nilai welfare-state dilalui dengan penggunaan firma hukum yang bergerak di bidang kepentingan publik, lembaga bantuan hukum, program paraprofesional dan hukum klinis serta peningkatan tanggung jawab sosial oleh asosiasi pengacara.
Kekurangan alternatif yang bersifat kelembagaan atau prosedural bagi struktur formal perwakilan masyarakat secara umum membatasi perluasan partisipasi publik yang sangat berarti dalam perencanaan pembangunan. Oleh karenya para professional hukum harus dapat memainkan peranan penting dalam mendiversifikasi model-model partisipasi langsung masyarakat melalui upaya-upaya petisi, litigasi, lobbi, hearing dan mengusulkan lembaga-lembaga baru seperti ombudsman6.
Berkenaan dengan pembentukan hukum yang berhadapan dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang market-friendly, Cheryl W Gray menyatakan bahwa secara umum terdapat dua kemungkinan sumber hukum substantif, yakni home grown atau perundang-undangan “hasil cangkokan” (legislation transplanted) yang keseluruhan atau beberapa bagiannya merupakan hasil adaptasi dari perundang-undangan negara-negara yang sistem ekonomi pasarnya sudah memadai. Di satu sisi cara mengimpor hukum secara cangkokan dapat memberikan keuntungan dalam rangka menciptakan model-model uji-awal. Namun sesuai sifatnya yang merupakan cangkokan maka mengandung risiko, mengingat hukum yang bersangkutan tidak tumbuh dari budaya hukum lokal dan mungkin tidak sampai ke akarnya7.
Untuk menengahi kedua kemungkinan sumber hukum substantif tersebut di atas, terdapat model transisi yang dinilai cukup praktis, yakni dengan jalan meminjam ide umum dari contoh-contoh hukum terbaik (best practice) dari negara lain, yang kemudian diadaptasi serta diinternalisasikan terlebih dahulu melalui debat-debat politik dan proses nasionalisasi secara cermat dalam tahap “legal drafting”. Sebagai contoh terbaik dalam hal ini adalah dalam pembentukan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan beberapa undang-undang berkenaan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).
Pembentukan Lembaga Pendukung
Prasyarat selanjutnya setelah pengembangan hukum yang market-friendly adalah perlunya pembentukan lembaga-lembaga penunjang yang diperlukan agar sistem hukum yang mendukung ekonomi pasar dimaksud dapat well-functioning. Tanpa prasyarat kelembagaan pendukung seperti ini, hukum yang didesain sebaik apapun tidak akan mampu berfungsi. Dalam pembahasan kelembagaan ini yang penting adalah bukan hanya permasalahan ada tidaknya (eksistensi) lembaga-lembaga pendukung tersebut namun yang lebih penting adalah adanya dukungan sistem perundang-undangan yang didesain dengan baik, dukungan finansial yang memadai, terselenggaranya pelatihan-pelatihan dan pemanfaatan bantuan-bantuan teknis (technical assistance) dalam pembentukan lembaga-lembaga penunjang dimaksud.
Secara garis besar pengembangan lembaga pendukung hukum yang market-friendly tidak saja berkenaan dengan kelembagaan hukum formal, melainkan juga lembaga lain yang secara professional terkait erat dengan permasalahan hukum. Kelembagaan hukum formal yang menjadi sasaran pengembangan terutama adalah hakim, jaksa, arbitrator, pejabat-pejabat peradilan (juru sita dan hakim pengawas kepailitan) dan kurator. Sedangkan lembaga lain adalah berupa lembaga yang menghasilkan dan menyebarkan informasi sekaligus memantau pelaku-pelaku bisnis (the watchdog institutions), antara lain akuntan, appraisal, lembaga pemeringkat kredit (credit rating services), pengatur perdagangan sekuritas, instansi yang mendaftar kepemilikan perusahaan, pengacara, investigator swasta dan media massa.
Relevan dikemukakan berkenaan dengan pembahasan masalah ini adalah hasil studi perkembangan hukum yang merupakan proyek Bank Dunia, yakni “Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia” yang mengemukakan hakekat permasalahan yang hampir semuanya mengarah pada prasyarat kelembagaan pendukung sistem hukum yang mendukung ekonomi pasar, yaitu kelemahan sumber daya manusia hukum, kelemahan lembaga hukum, kelemahan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan kelemahan sistem peradilan8.
Khusus berkenaan dengan pengadilan, selanjutnya hasil studi perkembangan hukum proyek Bank Dunia menyebutkan bahwa saat ini sebagian besar masyarakat berpandangan sangat buruk terhadap kinerja sistem peradilan. Masyarakat beranggapan bahwa kondisi kerja di lembaga peradilan beserta aparatnya tidaklah memuaskan. Juga ada anggapan bahwa praktek pengadilan belum ditegakkan sebagaimana mestinya karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik hakim, pengacara, maupun masyarakat pencari keadilan9.
Sebagai penyebab buruknya pandangan masyarakat terhadap pengadilan, terutama diakibatkan oleh pelayanan peradilan, yang dianggap gagal memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir” melawan ketidakadilan. Perkara-perkara pengadilan ditangani dengan berbelit-belit, tidak efisien dan menghabiskan biaya yang mahal, serta prosedur penetapan putusannya yang tidak transparan. Penyebab lain yang merupakan tuduhan berat terhadap pengadilan adalah mengenai ketidakbebasan kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan Indonesia, terutama berhadapan dengan dominasi pemerintah. Contoh mutakhir adalah kasus diabaikannya pemilihan calon Ketua Mahkamah Agung yang telah diseleksi DPR.
Sedangkan berkenaan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan non-litigasi, antara lain arbitrase menghadapi kendala ketidakmampuannya untuk melaksanakan putusan secara mandiri. Keengganan masyarakat bisnis untuk bersentuhan dengan pengadilan, terutama berhubungan dengan prasangka korupnya lembaga peradilan yang ada, pada akhirnya kembali pada pengadilan dikarenakan masalah eksekusi dari Penyelesaian Sengketa melalui Badan Arbitrase tetap memerlukan fiat eksekusi dari Pengadilan.
Secara kelembagaan Indonesia telah memiliki tiga buah lembaga arbitrase, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) serta Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI) dan telah memiliki peraturan perundang-undangan baru berkenaan dengan hal tersebut, yakni Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun kewibawaan serta efektivitasnya sebagai mekanisme penyelesaian perselisihan tergantung pada promosi, publikasi dan sosialisasi agar keberadaannya menjadi lebih kokoh10, serta bonafiditas dan profesionalitas para arbiternya.
Dilain pihak terdapat permasalahan lain berkenaan dengan bagian pembahasan ini, yakni adanya atau terjadinya ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)11, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)12, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)13 yang dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut:

The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.14

Kebutuhan Akan Hukum
Prasyarat terakhir adalah adanya penciptaan sejumlah insentif bagi individu-individu pelaku pasar (pelaku bisnis) dalam rangka memotivasi agar senantiasa berusaha memperjuangkan sepenuhnya hak-hak hukum yang dimiliki maupun hak-hak informasi serta penegakan hukum yang disediakan. Dengan kata lain adanya manfaat yang jelas bagi pelaku bisnis serta kepastian hukum baik mengenai hak, kewajiban maupun law-enforcement dari segala fasilitas hukum yang dibuat, sehingga kegiatan bisnis dapat terus survive.
Cheryl W Gray memberikan contoh bahwa bank-bank atau kreditor lain tidak akan memanfaatkan hak yang disediakan oleh hukum jaminan atau hukum kepailitan, bilamana meragukan penegakannya oleh pemerintah. Pilihan yang dianggap efektif mungkin berupa penagihan secara agressif, misalnya dengan menggunakan debt collector15.
Di Indonesia terdapat banyak contoh yang bisa diungkapkan mengenai kurangnya kemanfaatan atau tidak efektifnya institusi dan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan. Pilihan penagihan utang dengan menggunakan Debt Collector lebih banyak dilakukan, dibandingkan dengan melalui mekanisme hukum jaminan atau hukum kepailitan. Kewibawaan lembaga kepailitan bahkan semakin hari semakin merosot, karena semakin nyata tidak dapat berbuat banyak sebagaimana diharapkan semula dalam menyelesaikan masalah piutang perusahaan. Putusan Pengadilan Niaga di akhir tahun 2000, yakni tepatnya tanggal 18 Desember 2000 merupakan hal yang kontroversial, yakni PKPU Tirtamas Comexindo yang berakhir tanpa terjadi perdamaian atau putusan pailit terhadap Tirtamas Comexindo.
Sebelum diundangkannya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Indonesia telah memiliki tiga lembaga arbitrase, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dan Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI). Namun ketiga lembaga tersebut belum secara efektif dipilih sebagai penyelesaian perselisihan bisnis non-litigasi oleh masyarakat bisnis. Hal tersebut dikarenakan lembaga-lembaga non-peradilan tidak bisa melaksanakan putusannya secara mandiri dan sampai saat ini lebih menyukai pengadilan, karena pihak yang bersengketa dapat memenangkan perkara dengan menggunakan tekanan-tekanan yang tidak etis16. Ketidakefektifan lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif juga ditambah dengan adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut:

“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”

Pasal seperti ini kurang memberi kepastian hukum. Seyogyanya bila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain yang sangat populer adalah kurangnya law-enforcement di bidang hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), terutama berkenaan dengan masalah pembajakan atau pelanggaran dan kejahatan HAKI. Peraturan perundang-undangan serta institusi berkenaan dengan Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri dan Sirkuit Terpadu telah ada dan dipandang cukup memadai. Namun berhadapan dengan masalah pembajakan, pemerintah dianggap tidak cukup berdaya dan kehilangan alternatif bagi pemberantasannya, bahkan terkesan kalah menghadapi mafia pembajakan. Masih segar dalam ingatan misalnya penertiban penjual VCD bajakan yang berakhir dengan perusakan jalan dan pertokoan di daerah Glodok.
Kesimpulan
Hukum dapat berfungsi sebagai “a tool of social engineering”, atau sekurang-kurangnya sebagai faktor penggerak mula yang memberikan dorongan pertama perubahan sosial secara sistematik. Dalam makalah ini fungsi hukum tersebut diarahkan untuk mengembangkan sistem hukum yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas di negara Indonesia.
Sampai batas tertentu, pembangunan hukum di Indonesia efektif dalam mengembangkan sistem hukum yang mendukung perekonomian, terutama berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mempergunakan model transisi, misalnya dalam pembentukan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Namun sebagaimana diukur dengan model yang dikemukakan Cheryl W Gray mengenai tiga prasyarat agar suatu sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, yakni hukum yang dikembangkan harus market-friendly, terciptanya lembaga pendukung dan kemanfaatannya bagi kalangan bisnis, maka reformasi hukum di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan permasalahan, antara lain sebagai berikut :
Dalam pembentukan hukum, Indonesia dihadapkan dengan permasalahan model pilihan hukum substantif, serta kondisi obyektif Indonesia sebagai negara berkembang, sehingga mesti melakukan secara bersamaam tiga tahap pembangunan hukum untuk menjadi negara modern industrialis, yakni tahap unifikasi, industrialisasi dan tahap social welfare;
Dalam pembentukan lembaga pendukung, permasalahan yang dihadapi adalah adanya ketidakkepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan belum berwibawanya lembaga-lembaga alternatif penyelesaian sengketa; dan
Dari aspek kemanfaatan, sebagai akibat adanya permasalahan dalam pembentukan lembaga pendukung, maka hukum dan institusi yang dibentuk masih belum memberikan kepastian bagi kalangan bisnis berkenaan dengan hak, kewajiban maupun law-enforcement-nya.
Daftar Pustaka
Cheryl W Gray, Reformasi Hukum Di Negara Sedang Berkembang, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 6, Jakarta, 1999.
Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.
Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
The World Bank, Reformasi Hukum Di Indonesia, CyberConsult, Jakarta, 1999.
Thomas M Franck, The New Development: Can American Law and Legal Institutions Help Developing Countries (Paper Kuliah).
Wallace Mendelsons, Law and The Development Of Nations (Paper Kuliah).