Wacana Menyambut Hari Keluarga Nasional XI, 29 Juni
Oleh Ir. NENI UTAMI ADININGSIH, M.T.
PADA tahun 1800, di musim dingin yang sangat buruk, seorang penyamak kulit bernama Vidal yang tinggal di Desa Saint Sernin (Prancis) menangkap seorang bocah laki-laki "liar" yang kemudian diberinya nama Victor (12). Sejak saat itu, Victor tidak pernah kembali lagi ke alam liar. Namun bukan berarti ia kemudian bisa berubah "menjadi manusia. Victor, yang diletakkan di dalam sebuah kandang, mengalami kesulitan berbicara. Ia juga tidak bisa tenang, ia selalu bergerak ke segala arah. Victor mengguncang-guncangkan kandang, dan kadang mengeram. Ia melolong seperti serigala. Wajar (?), sebab Victor yang sejak lahir sudah dibuang oleh orang tuanya ke hutan Aveyron dibesarkan oleh segerombolan serigala.
Kemudian Victor dibawa ke Paris. Oleh Phillipe Pinel, seorang psikolog, ia didiagnosa sebagai anak bodoh yang tidak dapat disembuhkan. Meskipun demikian, Jean-Marc-Gaspard Itard, seorang dokter muda yang juga pengajar anak bisu-tuli serta keterbelakangan mental, ingin mendidik Victor. Dengan tekun ia mengajarnya membaca, mengucapkan beberapa patah kata dan memahami beberapa perintah sederhana, tetapi sayang hingga akhir hayatnya (1828), Victor tetap tidak bisa melakukannya dengan benar. Cerita di atas saya petik dan rangkum dari buku The Wild Boy of Aveyron (Jean Marc Gaspard Itard, Prentice Hall, 1962), Wild Boy of Aveyron (Harlan Lane, Harvard University, 1979) dan The Forbidden Experiment: The Story of the Wild Boy of Aveyron (Roger Shattuck, Kodasha Globe, 1994).
Realita kualitas keluarga
Dari cerita di atas tampak bahwa Victor tidak dapat lagi "dimanusiakan". Mengapa? Karena masa awal pertumbuhannya (sebagai manusia) sudah lewat dan masa pembentukan (seperti serigala) sudah terjadi. Hal ini mencuatkan makna bahwa sangatlah besar pengaruh lingkungan, dalam hal ini keluarga, terhadap proses "pemanusiaan".
Apa yang akan dilakukan oleh seorang anak, merupakan hasil pembelajarannya atas stimulasi dari lingkungan. Victor yang diasuh dan dibesarkan oleh keluarga serigala, tentu saja akan menempatkan dirinya sebagaimana layaknya anggota keluarga serigala. Artinya, bila kita ingin mendapatkan anak-anak yang cerdas (dalam segala aspek, intelektual, moral, emosional, spiritual), maka kita harus menempatkannya dalam lingkungan keluarga yang cerdas pula. Dan hal ini harus dilakukan sejak dini, selain karena masa itu tidak mungkin terulang, juga karena itulah saat di mana seorang manusia sedang dalam puncak pembelajaran.
Sayangnya, justru saat ini ada tengara, kita semakin tidak peduli akan eksistensi keluarga sebagai lingkungan awal proses "pemanusiaan". Yang lebih celakanya lagi, ketidakpedulian tersebut membuat anak-anak berada dalam lingkungan yang tidak cerdas, yang semakin menjauhkannya menjadi seorang manusia, seorang humanis.
Beberapa hal berikut ini, dapat dijadikan sebagai indikasi telah terjadinya reduksi kualitas anak Indonesia, menjadi anak yang semakin tidak cerdas bahkan menjadi liar. Pertama, semakin banyaknya anak yang terlibat pergaulan bebas. Hasil polling terhadap 200 mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung menunjukkan bahwa 50 persen responden telah melakukan hubungan badan satu kali dan 20 persen lebih dari dua kali (Pikiran Rakyat, 26/5/4). Dengan kondisi seperti ini, tidaklah aneh bila data yang dilansir oleh BKKBN menunjukkan bahwa 15-30 persen dari total kasus aborsi di Indonesia yang berjumlah 2,3 juta/tahun, dilakukan oleh remaja (Pikiran Rakyat, 6/6/4).
Kedua, semakin banyak anak yang mengonsumsi rokok. Data tahun 2000, yang dikeluarkan Global Youth Tobacco Survey (GYTS), sebagai hasil survei terhadap 2.074 responden usia 15-20 tahun, mengungkapkan bahwa 43,9 persen responden pernah merokok. Selain itu juga tampak adanya kecenderungan semakin muda saja usia pertama anak mengenal rokok yaitu umur enam-tujuh tahun. Kondisi ini perlu diwaspadai karena perilaku merokok merupakan pintu gerbang utama menjadi pencandu narkoba.
Ketiga, semakin banyaknya anak yang terjerat narkoba. Data Markas Besar Kepolisian RI mengungkapkan bahwa 50 persen dari total pencandu narkoba (sekira 6,5 juta orang) adalah generasi muda yang berumur 7-25 tahun. Besar kemungkinannya persentase tersebut akan meningkat. Apalagi semakin muda saja usia awal menggunakan narkoba, seiring dengan semakin banyaknya anak dan semakin mudanya usia awal mengisap rokok.
Keempat, semakin banyaknya kriminalitas oleh anak. Kian sering kita dengar aksi remaja/pelajar yang berani merampok di bus, tawuran, memerkosa bahkan membunuh. Mereka tidak lagi sekadar "nakal" namun telah melakukan tindak kriminal seperti memerkosa bahkan membunuh. Belum lagi kasus tawuran yang semakin menjadi "hal biasa". Tidak aneh bila setiap tahun, sedikitnya ada 4.000 anak di bawah usia 16 tahun yang dibawa ke pengadilan.
Kelima, kian maraknya kasus anak-anak yang bunuh diri. Kasus terakhir terjadi pada 9 Juni lalu di Brebes (Jawa Tengah), ketika Khotijah (12), yang masih kelas 5 SD, nekat membakar diri sehingga tewas setelah dimarahi orang tuanya (Media Indonesia, 11/6/4). Kasus Khotijah ini menambah panjang deretan anak yang mencoba bunuh diri. Selama 2003, di Jawa Barat saja sedikitnya ada empat anak -- salah satunya Heryanto (yang sangat fenomenal itu) -- yang berupaya bunuh diri. Dapat dipastikan bahwa pada tahun 2004 ini jumlah akan meningkat. Karena hingga Juni 2004, sedikitnya sudah ada 8 kasus anak yang bunuh diri.
Data-data di atas, barulah sekelumit dari begitu banyaknya reduksi kualitas yang dialami oleh anak-anak kita. Data di atas memperlihatkan kondisi anak-anak kita yang kian egois, emosional, malas, cepat putus asa, tanpa empati, konsumtif, serta hedonis.
Pemberdayaan keluarga
Kondisi ini harus segera diatasi bila ingin bangsa kita yang diwakili oleh anak-anak kita sebagai generasi penerus ini eksis di kancah global. Di era globalisasi ini dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki tiga potensi yaitu 1) dari segi rasionalitas, logika dan kemampuan penalaran, 2) dari segi budaya, rasa dan estetika serta 3) dari segi ketakwaan dan keimanan, moral dan etikanya. Permasalahannya, bagaimana cara untuk mewujudkan ketiga potensi tersebut? Dengan memberdayakan keluarga, dengan membuat keluarga berkualitas, dengan membentuk keluarga cerdas.
Setidaknya ada delapan fungsi keluarga, yang apabila bisa dipenuhi oleh para orang tua diyakini akan mampu membentuk generasi mendatang yang mempunyai kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kedelapan fungsi keluarga tersebut adalah pertama fungsi agama. Fungsi ini akan mengembangkan aspek spiritual berupa kecerdasan spiritual (SQ) dalam diri anak.
Kedua, fungsi sosial budaya yang akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepedulian anak terhadap orang lain. Ketiga, fungsi cinta kasih yang akan mendidik anak untuk memahami perasaan, saling menyayangi antaranggota keluarga. Bersama fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih ini akan mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) anak.
Keempat, fungsi perlindungan yang akan memberi ketenangan dan rasa aman serta menciptakan rasa tenteram dan damai di lingkungan keluarga, sehingga anak akan lebih terbuka membicarakan masalah yang dihadapinya kepada orang tua. Fungsi ini bermanfaat antara lain untuk mencegah kemungkinan anak-anak "melarikan diri" ke narkoba bahkan bunuh diri.
Kelima, fungsi reproduksi yang akan menjaga dan menjamin terciptanya reproduksi yang sehat dan berkualitas. Bagi anak/remaja, fungsi ini akan membantu menghindarkan mereka dari kemungkinan tertular infeksi menular seksual, HIV, juga menghindarkan mereka dari kemungkinan melakukan aborsi.
Keenam, fungsi sosialisasi dan pendidikan yang akan membentuk dan mengembangkan kecerdasan berpikir anak dengan menumbuhkan kreativitasnya, ketekunannya, keinginannya untuk maju dan berkompetisi secara sehat, percaya diri serta bertanggung jawab. Fungsi ini berperan dalam mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ) anak.
Ketujuh, fungsi ekonomi yang antara lain mengajarkan dan melatih sikap hemat dan gemar menabung serta menumbuhkan jiwa berwirausaha sejak dini sehingga anak dapat menghargai nilai ekonomis dari setiap kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya. Kedelapan, fungsi pemeliharaan lingkungan yang mengajarkan dan melatih anak untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan misalnya tidak membuang sampah sembarangan, tidak memetik bunga/pohon sembarangan, dsb.
Namun tidak bisa dimungkiri bahwa keberhasilan keluarga dalam menjalankan kedelapan fungsinya tersebut juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Kemiskinan serta rendahnya tingkat pendidikan orang tua misalnya. Dan tugas pemerintahlah untuk mengatasi faktor-faktor eksternal tersebut. Pemerintah harus berupaya keras menciptakan kondisi yang kondusif (aman, sejahtera) agar setiap keluarga mempunyai kesempatan untuk menjalankan ke delapan fungsinya.
Saya sangat berharap peringatan Hari Keluarga Nasional (29 Juni) kali ini bisa menggugah keluarga-keluarga (yang tentu harus didukung oleh pihak-pihak terkait) untuk meningkatkan kualitas keluarganya menjadi lebih cerdas. Bukankah semuanya telah setuju bahwa hanya melalui keluarga yang cerdaslah dapat dibangun keluarga yang sehat-sejahtera sebagaimana tema Harganas kali ini. Atau... kita ingin seperti sekarang ini saja, di mana anak-anak semakin "liar" bak liarnya Victor, si manusia serigala... sebagai pertanda bahwa mereka diasuh dalam "keluarga serigala". Mudah-mudahan tidak.***
Penulis ibu rumah tangga, penggagas "Forum Studi Pemberdayaan Keluarga" (Family Empowerment Studies Forum).
Wednesday, January 23, 2008
Apakah Kita Diasuh ”Keluarga Serigala”?
Posted by ucupneptune at 7:30 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment