Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Wednesday, January 23, 2008

International Criminal Court (ICC) Sebagai Pranata Baru Peradilan Internasional

Menjelang akhir abad yang sangat berdarah dalam perjalanan sejarah manusia, komunitas international bersama-sama mengadopsi sebuah treaty yang membentuk sebuah pengadilan pertama dalam sejarah yang independen dan permanen. Pengadilan tersebut saat ini telah menjadi kenyataan yang disebut sebagai International Criminal Court (ICC). ICC memiliki kemampuan untuk untuk melakukan investigasi dan menuntut setiap individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), genosida (genocide), dan kejahatan perang (crime of war). ICC sifatnya melengkapi keberadaaan sistem peradilan nasional sebuah negara dan akan melangkah hanya jika pengadilan nasional sebuah negara tidak memiliki kemauan atau tidak mampu untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi tersebut. ICC juga akan membantu untuk mempertahankan hak-hak perempuan dan anak-anak yang bisanya memiliki kekuatan yang sangat kecil untuk mempertahankan hak-haknya untuk mendapat keadilan[1].Sejarah Berdirinya ICCStatuta yang menjadi dasar berdirinya ICC, Statuta Roma, diadopsi pada konferensi internasional yang disponsori oleh PBB di Roma pada tanggal 17 Juli 1998. Setelah melangsungkan pembahasan mendalam selama 5 minggu, 120 negara menyatakan pendiriannya untuk mengadopsi statuta tersebut. Hanya 7 negara menolak untuk mengadopsi statuta tersebut. Mereka adalah Cina, Israel, Iraq, Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat (AS). Sementara 21 negara abstain dalam pemungutan suara. 139 negara berikutnya menandatangani treaty tersebut pada tanggal 31 Desember 2000. Selanjutnya pada tanggal 11 April 2002 sebanyak 66 negara meratifikasi treaty tentang Statuta Roma. Dengan diratifikasinya treaty ini oleh 66 negara maka telah melewati batas minimal sebanyak 60 negara yang menjadi syarat dapat berlakunya sebuah treaty. Pengadilan ini memulai bekerja sejak tanggal 1 Juli 2002. Pada tanggal 19 September 2002 sebanyak 81 negara telah meratifikasi treaty tentang Statuta Roma.[2]
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa ICC adalah sebuah pengadilan permanen yang dibentuk untuk melakukan investigasi dan menuntut setiap individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), genosida (genocide), dan kejahatan perang (crime of war). Jika demikian halnya sekilas terlihat ada tumpang tindih kedudukan ICC jika dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan Internasional lainnya yang telah lebih dulu ada seperti International Court of Justice (ICJ) ataupun International Criminal Tribunal for Former Yugosavia dan International Criminal Tribunal for Former Rwanda. Namun jika diamati lebih jelas terlihat perbedaan prinsip yang sangat mendasar antara ICC dengan 3 pengadilan lain tersebut. ICJ adalah pengadilan sipil yang mengadili sengketa antara negara. Artinya para pihak di sini adalah negara. Sedangkan ICC adalah pengadilan kriminal yang mengadili individu. Sementara jika kita bandingkan dengan pengadilan ad-hoc yang pernah dibentuk untuk bekas negara Yugoslavia dan Rwanda ada kesamaan dalam hal sebagai pengadilan kriminal yang mengadili individu seperti Slobodan Milosevic, namun terdapat perbedaan pada cakupan geografi yang dapat dijangkau. Tribunal untuk Yugoslavia dan Rwanda jelas hanya bisa menjangkau tindakan kriminal berat yang dilakukan oleh individu dua negara tersebut sementara ICC dapat menjangkau ke seluruh jengkal dunia dimana terdapat tindak kriminal berat tehadap kemanusiaan.
ICC juga akan menghindarkan penundaan terhadap pengadilan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan serta menghindari pembentukan tribunal berulang-ulang setiap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang akan membutuhkan banyak biaya dan tenaga dalam pembentukannya.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dengan dibentuknya ICC adalah ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional. ICC dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan atas kemanusiaan di pengadilan negara mereka masing-masing. Selanjutnya ICC juga akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dituntut di negaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari negara tersebut untuk melakukan penuntutan. Jadi dalam hal ini ICC akan menjadi semacam benteng terakhir keadilan bagi korban kejahatan tehadap kemanusiaan. Sebagaimana yang ditulis oleh A Irmanputra Sidin yang mengatakan “Berdasarkan Artikel 17, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta. ICC menggunakan prinsip remedi domestik bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat”.[3] Ini sejalan dengan penjelasan tentang ICC yang dipublikasikan dalam situs ICC yang mengatakan “As noted, the ICC is not intended to replace national courts. Domestic judicial systems remain the first line of accountability in prosecuting these crimes. The ICC ensures that those who commit the most serious human rights crimes are punished even if national courts are unable or unwilling to do so. Indeed, the possibility of an ICC proceeding may encourage national prosecutions in states that would otherwise avoid bringing war criminals to trial.”[4] Dengan demikian jelas terlihat bahwa ICC adalah pengadilan pelengkap (komplemen) bagi pengadilan nasional. Keberlakuannya hanya akan dapat terjadi jika pengadilan domestik tidak dapat mengadakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.ICC dan UU Pengadilan HAM IndonesiaJika kita hubungkan masalah yurisdiksi ICC ini dengan UU Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26/ 2000) maka dalam laporan Amnesty Internasional bulan Februari 2001 disebutkan bahwa pada pasal 5 UU No. 26/ 2000 mengatur bahwa Pengadilan HAM mempunyai lingkup wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas territorial wilayah negara RI. Aturan ini mengundang kekhawatiran bagi Amnesty International bahwa pembatasan wilayah territorial tersebut tidak konsisten dengan hukum internasional karena tidak memberikan kesempatan bagi penggunaan yurisdiksi universal terhadap mereka yang dicurigai melakukan tindakan pidana menurut hukum internasional dan berada di wilayah territorial Indonesia, atau bagi tersangka perkara-perkara semacam itu untuk diekstradisi ke negara lain yang mampu serta bersedia untuk menuntut mereka yang dituduh sebagai pelakunya.[5]
Dalam hal definisi tentang kejahatan yang diatur pada Bab III pasal 7 UU Pengadilan HAM Indonesia, telah terlihat kesesuaian yang sangat positif dengan pengertian yang tercantum dalam Statuta Roma tentang ICC pasal 6 dan 7. Amnety Internasional dalam laporan yang sama menulis, “Pemakaian Statuta Roma sebagai dasar bagi pemberian definisi ini kami sambut baik karena bersama-sama dengan instrumen atau traktat internasional lainnya UU ini memberikan standar yang pasti bagi penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM yang berat. Cara pendekatan semacam ini juga akan membantu memberikan sarana bagi peratifikasian Statuta Roma oleh Indonesia”. [6]
Selain masalah yurisdiksi tempat, ICC juga tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili delik yang terjadi (ratione temporis) sebelum 1 Juli 2002. Indonesia, jika suatu hari nanti meratifikasi ICC, maka jurisdiksi ICC hanya pada delik-delik yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Namun, Indonesia tanpa meratifikasi dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag Belanda (Artikel 11,12 ICC).[7] Jika kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, maka hal ini kongruen dengan ketentuan UUD ’45 hasil amandemnen pada pasal 28I yang intinya melindungi seseorang dari penuntutan atas ketentuan yang berlaku surut.
Hal ini di satu sisi menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara Statuta Roma tentang ICC dengan ketentuan hukum internasional lainnya. Amnesty International, masih dalam laporannya tentang Pengadilan HAM Indonesia, mengomentari ketentuan pasal 28 I tersebut dengan memakai perbandingan pasal 11 (2) Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan “Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut UU nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan”. Ketentuan ini menurut Amnesty International menunjukkan bahwa hukum internasional tidaklah melarang adanya perundang-undangan pidana yang berlaku surut yang semata-mata berupa prosedur untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan hukuman atas kelakuan, yang pada saat dilakukan, memang merupakan perbuatan kriminal menurut prinsip-prinsip umum peraturan yang telah diterima oleh komunitas bangsa-bangsa.[8] Jika kita cermati hal ini maka UUD ’45 dapat dikatakan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang universal yang berikutnya berakibat pada tidak maksimalnya pelaksanaan UU Pengadilan HAM yang kita punya. Namun demikian hal ini juga terjadi pada Statuta Roma tentang ICC yang menyatakan tidak dimilikinya yurisdiksi oleh ICC untuk mengadili kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. Penulis tidak (belum) mendapat keterangan lanjutan yang dapat mnjelaskan mengapa dalam Statuta Roma ini bisa terjadi kelemahan yang sangat elementer seperti ini.Keberadaan dan kontroversi dalam ICC ICC berada di The Hague, Belanda. Namun demikian, jika diperlukan ICC dapat dipindah keberadaannya ke negara lain. Negara-negara yang mengikatkan diri pada ICC akan menentukan anggaran dan ikut membayar iuran untuk ICC. Pendanaan ICC juga didapat dari PBB khususnya ketika ICC menginvestigasi dan menuntut kasus yang diserahkan kepada ICC oleh Dewan Keamanan (DK) PBB.
DK PBB dapat menyerahkan kepada ICC untuk melakukan investigasi dan penuntutan. DK PBB juga dapat meminta ICC untuk menghentikan investigasi dan penuntutan selama 12 bulan dalam suatu waktu jika DK merasakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh ICC saling tumpang tindih dengan tanggung jawab DK PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan. Ketentuan ini akan membuat setiap anggota tetap DK PBB memiliki kesulitan untuk memanipulasi ICC.
Statuta Roma juga memberikan rambu-rambu yang sangat ketat untuk menghindari terjadinya masuknya kasus-kasus yang sarat dengan motivasi politik. Sebagai contoh semua dakwaan akan memerlukan konfirmasi dari hakim-hakim pra-peradilan. Hakim-hakim ini akan memeriksa bukti-bukti pendukung dakwaan sebelum mengumumkannya kepada publik. Dengan demikian terdakwa dan negara-negara yang memiliki perhatian terhadap kasus ini akan memiliki kesempatan untuk melakukan perlawanan terhadap dakwaan dalam proses dengar pendapat di depan sidang pra-peradilan. Sebagai tambahan, setiap investigasi yang dilakukan oleh jaksa penuntut harus mendapat persetujuan dari hakim-hakim pra-peradilan.
Setiap hakim dan jaksa penuntut akan melewati proses penelitian yang cermat dan tepat sebelum mereka terpilih dan diangkat di pengadilan ini. Statuta Roma memberikan criteria yang ketat untuk melakukan seleksi terhadap jaksa dan hakim, persyaratan tersebut meliputi keahlian dan reputasi, karakter moral, dan independensi yang tidak tercela. Mereka yang terpilih selama masa jabatannya akan dilarang untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang akan dapat mempengaruhi indepensinya. Tentu saja Statuta Roma memberikan ketentuan bahwa para hakim dan jaksa yang menyalahgunakan kewenangannya akan dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Setiap negara yang ikut serta meratifikasi ICC memiliki hak menominasikan orang-orangnya untuk dipilih sebagai hakim dan jaksa. Hanya hakim dan jaksa yang bertugas di tingkatan tertinggi di tiap negara yang dapat dinominasikan di ICC.
Namun demikian keberadaan ICC tidak luput dari permasalahan. Sebagaimana yang disampaikan pada bagian awal tulisan ini, terdapat 7 negara yang menolak untuk menandatangani Statuta Roma salah satunya AS. Ironinya, ketika komunitas internasional melakukan kohesi melawan penjahat kemanusiaan, AS, yang distigma sebagai police of the world malah menyatakan tidak bergabung sebagai negara peserta. Argumentasi penolakan AS bahwa ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan, dan mengancam kedaulatannya.[9] Apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS ini benar-benar mengejutkan karena hal ini sangat berlawanan terhadap dukungan terhadap pembentukan ICC oleh hampir semua sekutu dekat AS. Permusuhan Pemerintahan Bush terhadap ICC meningkat secara dramatis pada tahun 2002. Perhatian utama yang menjadi alsan pemerintah Bush menolak ICC berhubungan dengan kemungkinan yurisdiksi ICC dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan investigasi dan penuntutan yang bermotif politik terhadap personil militer dan pejabat politik AS.
Pada tanggal 6 Mei 2002 sebuah manuver diplomatic yang belum pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Bush secara efektif mencabut tanda tangan AS pada treaty yang telah dilakukan sebelumnya. Pada saat itu Duta Besar AS yang berkuasa penuh untuk masalah-masalah kejahatan perang, Pierre-Richard Prosper menyatakan bahwa pemerintah AS tidak ingin “berperang” melawan ICC. Namun sebenarnya prnyataan ini sama sekali tidak benar. Penolakan untuk meratifikasi treaty yang dilakukan oleh AS telah membuka jalan yang amat komprehensif bagi pemerintah AS untuk mengurangi peran ICC.
Akibat dari penarikan diri ini pemerintahan Bush berikutnya melakukan langkah-langkah yang sangat tidak simpatik yang menunjukkan arogansi AS terhadap komunitas international.Langkah pertama yang dilakukan adalah pemerintah Bush melakukan negosiasi dengan DK PBB untuk memberikan pengecualian terhadap personel AS yang menjadi bagian dari operasi pasukan penjaga perdamaian PBB. Namun negosiasi ini pada bulan Mei 2002 gagal untuk mendapat pengecualian terhadap pasukan penjaga perdamaian di Timor Timur. Akibat dari hal itu pada bulan Juni AS melakukan veto terhadap rencana perpanjangan pasukan penjaga perdamaian untuk Bosnia-Herzegovina kecuali jika DK PBB memberikan pengecualian yang lengkap terhadap personel AS dari pemberlakuan ICC. Akibat dari permintaan ini hubungan AS dengan negara-negara sekutunya sempat tegang untuk beberapa waktu sampai akhirnya DK PBB menyepakati untuk memberi pengecualian terhadap personil AS yang terlibat dalam operasi pasukan penjaga perdamaian PBB untuk waktu satu tahun. Pengecualian ini diberikan dengan sangat terbatas dan DK PBB telah menunjukkan keinginannya untuk mengevaluasi pengecualian ini pada tanggal 30 Juni tahun depan.
Kedua, Pemerintah AS telah mengajukan permintaan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan “kerjasama” bilateral untuk tidak menyerahkan warga negara AS kepada ICC. Tujuan dari “kerjasama” ini (kerjasama impunity atau yang lebih dikenal sebagai persetujuan pasal 98) adalh untuk menghindarkan personel AS dari yurisdiksi ICC. Selain itu mereka juga mengkampanyekan dua tingkatan aturan main untuk tindak pidana internasional yakni yang berlaku untuk warga negara AS dan yang berlaku bagi warga ngara di luar AS. Hal ini tentu saja sangat menggelikan karena pemerintah AS melakukan segala cara untuk menghindari warga negaranya diserahkan kepada ICC smentara AS sangat getol untuk meminta negara-negara yang dianggap oleh AS telah melakukan tindakan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi seperti Human Right Watch International memprotes keras sikap AS ini dengan meminta negara-negara di seluruh dunia untuk menolak bekerja sama dengan AS dalam hal ini.
Ketiga, Kongres A telah memberi dukungan kepada pemerintah AS atas usahanya dalam isu ini dengan mengesahkan UU Perlindungan Pegawai Pemerintah AS (American Service member Protection Act, ASPA) yang kemudian ditandatanganioleh Presiden Bush pada tanggal 3 Agustus 2002. Isi yang paling utama dari Undang-undang yang sangat anti-ICC ini adalah:a. Larangan bagi pemerintah AS untuk bekerja sama dengan ICC;b. Melakukan “invasi” terhadap ketentuan-ketentuan The Hague dengan memberikan kekuasaan kepada Presiden AS untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk membebaskan personel AS dari tahanan atau penjara ICC;c. Memberikan hukuman kepada negara-negara yang bergabung dalam ICC, menolak untu memberikan bantuan militer kepada negara-negara yang ikut serta dalam ICC (kecuali terhadap negara-negara sekutu utama AS);d. Larangan bagi personel AS untuk berpartisipasi dalam misi penjaga perdamaian bila tidak ada garansi atau jaminan bahwa kekebalan terhadap ketentuan dalam ICC diberikan kepada mereka.
Ketentuan-ketentuan dalam ASPA ini benar-benar memberikan bukti bahwa pemerintah AS telah melakukan sebuah tindakan yang bertentangan dengan kehendak dunia internasional untuk menyeret pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dari manapun ke depan pengadilan pidana internasional yang permanen. Meskipun demikian, dengan dukungan komunitas internasional yang melihat arti penting dari ICC ini, ICC tetp mulai diberlakukan secara efektif pada 1 Juli 2002.KesimpulanInternational Criminal Court atau Peradilan Kriminal International akan menjadi system peradilan pidana yang permanent yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002 dan akan mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, serta kejahatan perang. ICC akan menghindari pembentukan berulang-ulang pengadilan kriminal internasional ad-hoc seperti yang selama ini dibentuk untuk Yugoslavia dan Rwanda.
ICC bukan dimaksudkan untuk secara langsung mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi di satu negara, namun merupakan peradilan yang akan berlaku jika negara tempat terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk mengadilinya. Ini untuk menghindari impunity yang selama ini dinikmati oleh para pelaku kejahatan di beberapa negara yang dianggap tempat terjadinya kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan.Namun demikian terdapat beberapa kelemahan bagi keberadaan ICC ini. Salah satunya yang paling menonjol adalah tidak diakuinya asas retroaktif dalam penyelesaian kasus-kasus kejahatan ini. Artinya, segala kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002 tidak akan menjadi yurisdiksi ICC. Para pelaku kejahatan kemanusiaan sebelum 1 Juli 2002 akan tetap menikmati kebebasan tanpa harus mendapat hukuman atas segala perbuatannya. Kelemahan lain dari ICC adalah bahwa mereka berlaku sebagai the last of the last resort bagi penuntutan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya mereka masih menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada negara untuk melakukan penuntutan bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal jika seseorang yang disangka sebagai pelaku kejahatan mampu memegang kekuasaan di negaranya, maka akan mustahil penuntutan terhadap dirinya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum di negara tersebut.
Meskipun demikian, masih dapat diupayakan upaya penuntutan terhadap pelaku kejahatan yang masih memegang kekuasaan ini dengan mengambil contoh pelaksanaan pengadilan HAM bagi para pelaku kejahatan kemanusian Timor-timur yang saat ini berlangsung di Indonesia. Meskipun dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa UU ini tidak mengenal asas retroaktif, namun masih dapat diupayakan terobosan untuk tetap dapat melaksanakan pengadilan bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan.
Selain beberapa kelemahan di atas, berlakunya ICC ini juga dapat mengalami hambatan yang sangat berat dikarenakan ICC tidak mendapat dukungan politik yang kuat dari AS. Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa AS dengan berbagai alasan menolak berlakunya ICC. Seperti yang kita ketahui posisi AS yang sangat dominan dalam politik internasional akan dapat menghambat efektivitas kerja dari ICC. Meskipun demikian dengan dukungan mayoritas Negara-negara di dunia kita harapkan ICC tetap dapat memulai tugasnya untuk menciptakan keadilan di seluruh dunia. ***30-01-2003***[1] Publikasi ICC pada situs resmi http://www.un.org/law/icc/ [2] Ibid[3] A Irmanputra Sidin, Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma), dalam situs http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/13/opini/berj04.htm[4] Op.cit http://www.un.org/law/icc/ [5] Amnesty International, Komentar Mengenai Undang-undang Pengadilan HAM Indonesia, February 2001. hal 1.[6] Ibid. hal 2[7] Op.cit A Irmanputra Sidin[8] Amnesty International, Op.cit[9] Op.cit. http://www.un.org/law/icc/
February 12, 2007 in Current Affairs | Permalink

No comments: