Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Tuesday, November 20, 2007

Antara Senyuman dan Darah

BAGAIMANAKAH fotografi bisa sahih sebagai rekaman sejarah? Setidaknya di Indonesia, dalam konteks sejarah, fotografi hanya terbermaknakan sebagai ilustrasi kata-kata yang tertulis. Pengertian catatan sejarah, atau penulisan sejarah, menjadi sangat harfiah, yakni hanya yang tertulis dengan huruf-huruf saja. Foto-foto menjadi hanya ilustrasi, hanya pelengkap data-data sejarah, dan lebih sering tidak diperlakukan sebagai sumber sejarah itu sendiri.
Kecenderungan ini, antara lain, juga disebabkan makna fotografi bagi banyak orang masih untuk memotret diri sendiri, dalam pose yang paling enak dipandang. Imbasnya: sebuah foto diandaikan hanya menangkap momen-momen artifisial yang sifatnya sekadar ritual.
Adegan salaman antarpejabat sering distatiskan sejenak seperti adegan teater instalasi, supaya para juru foto sempat memotretnya. Akibatnya lagi, sebuah foto ibarat kata harus dibaca dua kali. Adegan pelukan Bung Karno dan Jenderal Sudirman yang mengharukan, dan penting bagi penilaian hubungan sipil-militer dalam sejarah, baru bisa bermakna dengan informasi tambahan, bahwa Bung Karno meminta adegan zoentjes-nya itu diulang sekali lagi, karena sebelumnya luput dipotret oleh pewarta foto yang mana pun di Istana.
Stigma semacam itu sudah dihancurkan oleh para fotografer sendiri. Seperti Prapanca meninggalkan rombongan Hayam Wuruk, dan mencatat sisi muram di balik kegemerlapan Majapahit dalam Desawarnana, yang oleh kuasa ilmu sejarah disebut Nagarkrtagama, begitu pula para fotografer menjauhi momentum sejarah di pusat kekuasaan, dan membangun kesaksiannya sendiri dengan peristiwa sejarah di pinggiran, peristiwa sejarah yang tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh, melainkan terutama orang-orang biasa, yang keterlibatannya lebih sering jadi pelengkap penderita.
Fotografer Eddy Hasby dalam buku foto East Timor: The Long and Winding Road (Aliansi Jurnalis Independen, 2001) menjadi saksi semacam itu. Buku ini membiarkan gambar-gambar berbicara, menawarkan agar foto-foto dibaca sebagai kesaksian sejarah, dengan kebebasan penafsiran mutlak di tangan sang pemandang. Fotografer tidak menjadi empu yang mendikte reaksi pemandang, melainkan membebaskan. Maka, fotografi pun menjadi pembebasan, bagi yang memotret maupun yang memandangnya.
Peristiwa sejarah apakah yang berada di pinggiran itu? Seberapa jauhkah ia kurang penting dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa di pusat kekuasaan? Eddy Hasby tidak memotret proses peralihan kekuasaan oleh para pejabat, ia memotret harga yang harus dibayar oleh kemerdekaan.
Memang ia memotret Xanana Gusmao, "Che"-nya Timor Timur itu, tapi tidak dengan busana formal, dengan latar belakang tembok bergambar burung-burung terbang, yang bagaikan mewakili impian akan kemerdekaan. Ketika burung-burung itu dilukis, tujuannya tentu saja lain, tetapi seorang fotografer melakukan pembahasan kembali berbagai citra dalam waktu yang singkat, untuk menyusun suatu makna baru.
Proses memotret itu sendiri, demikianlah Roland Barthes, sebetulnya merupakan proses penghancuran subyek yang dipandang, sebelum akhirnya dihadirkan kembali analoginya di kertas foto dua dimensi. Seolah-olah terjadi reduksi realitas, tetapi sebenarnya berlangsung penafsiran kembali. Seorang pemandang menatap subyek yang dipotret melalui mata seorang fotografer, dan tidak bisa lain.
Dalam foto-foto yang berbeda dengan foto-foto dari Istana Merdeka itu, terlihat betapa kemerdekaan, kebebasan itu, tidak bisa didapat dengan gratis, bahkan pengorbanannya adalah darah yang tertumpah. Semua ini juga tidak luput dari pembermaknaan mata Eddy Hasby, mata yang memandang kemudian memotret, karena peristiwa yang berlangsung di hadapannya harus dipotret. Peristiwa itu mengalir terus, tetapi adegan dari peristiwa itu dalam foto-fotonya berhenti.
Ketika seorang fotografer membekukan aliran peristiwa, yang oleh John Berger disebut sentakan diskontinuitas, pada saat itulah ia melakukan pencatatan sejarahnya. Justru di sanalah keunikan fotografi, ia terbermaknakan dalam ke-diam-annya, para pemandanglah yang harus mengeksplisitkannya untuk diri mereka sendiri, dan untuk orang lain, dan begitulah caranya para fotografer menyumbangkan batu batanya dalam proses sejarah dan ikut mengonstruksi representasi dunia.
Namun, apabila foto-foto disepakati merupakan representasi, janganlah terlalu cepat berkesimpulan bahwa foto-foto itu sendiri kosong saja, bukan peristiwa itu sendiri. Karena adalah dari foto-foto itu tertularkan pengalaman pahit menjadi rakyat di daerah konflik. Para tentara bersiaga dan banyak bersenyum simpul, namun wajah orang-orang biasa tampak sekali resah, gelisah, dan bingung. Satu dua wajah, terutama wajah kanak-kanak, sesekali cerah, tetapi mempertajam ketidakmenentuan yang berkepanjangan. Bahwa keterangan foto diletakkan paling akhir, memperkuat kesan keinginan menjadikan foto-foto ini berbicara tanpa kesengajaan menggiring.
Meskipun begitu, terlihat kesadaran Eddy Hasby yang sangat kuat akan penampilan foto-fotonya secara artistik, dan syukurlah hal itu hanya akan mengganggu mereka yang mempunyai kesadaran artistik saja. Justru karena foto-foto itu artistik. Bagi mereka yang membaca foto dengan disiplin apa pun pada dirinya, aspek artistik itu bisa diabaikan saja. Gereja yang hancur, bayangan pawai di genangan air, atau kerumunan pengungsian akan berbicara lebih dari soal-soal artistik saja.
Sebuah foto sekuens dalam buku ini, bagaimana polisi Indonesia membunuh penduduk sipil, dan orang-orang tidak menolongnya, tentu saja merupakan sekuens dramatis, dan pemandang boleh curiga bahwa Eddy sadar sekali memotret orang malang yang sebentar tadi masih hidup, dalam komposisi sangat terjaga. Tapi, lebih dari soal komposisi, gambar itu menjelaskan kelayakan Timor Timur merdeka, lepas dari Indonesia, karena jika tidak, korban semacam itu bukanlah yang terakhir.
Kalau mau dilakukan close reading pada gambar Garuda Pancasila di sebuah kendaraan militer, maka boleh diandaikan banyak orang akan sepakat: wajah garuda di lambang negara itu ganas sekali, seperti representasi wajah kekerasan. Pembacaan intertekstual itu tidak terhindarkan, karena sebuah foto juga dibaca melalui yang tidak tampak di gambar dan wacana Timor Timur jelas telah mengepung dari segala penjuru, bahwa potret Timor Timur pada dasarnya adalah potret penindasan.
Ini juga membuat pemandang justru mengerutkan dahi melihat wajah tentara Indonesia yang tersenyum ramah. Foto orang-orang yang bersembahyang dengan latar belakang baling-baling helikopter tempur menerbitkan pertanyaan yang tidak akan terjawab: apakah Tuhan berpihak kepada mereka?
Foto-foto Eddy cukup banyak memperlihatkan kuburan dan nama-nama tentara Indonesia yang tewas di medan Timor Timur. Tentu ini juga lebih baik dibaca sebagai korban dari sebuah kebijakan negara yang terbukti keliru: sebagian besar penduduk Timor Timur tidak suka bergabung dengan Indonesia. Para pion terombang-ambing dalam teater sejarah. Eddy memotret peran-peran kecil ini dengan baik, menjadikannya tidak kalah penting dengan peran-peran besar. Itu membuat foto-fotonya sahih untuk menyeimbangkan, atau membongkar, catatan sejarah.

No comments: