Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Tuesday, November 20, 2007

Upaya Mempertegas Fungsi Sosial Filsafat dalam Masyarakat Pluralistik

Judul buku: Filsafat yang Berkesudahan, Pengarang : Jo Verhaar SJ, Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 1999, Tebal: 109 halaman.


--------------------------------------------------------------------------------

FILSAFAT bertujuan pada usaha intelektual untuk "mencintai kebijaksanaan". Maka seorang filsuf idealnya adalah seorang pencinta kebijaksanaan. Para filsuf menggunakan kekayaan intelektualnya dalam keragaman metode agar setiap orang pada tingkat tertinggi daya pikir mencintai
hal yang sama, yakni cinta akan
kebijaksanaan.

Itulah sebabnya sepanjang sejarah filsafat, muncul berbagai metode yang dikembangkan oleh para filsuf tertentu. Mereka berupaya menyusun sebuah metode guna memperoleh pengakuan universal di samping untuk mempertanggungjawabkan dan mempertahankan kekayaan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu.

Seiring dengan perkembangan zaman, filsafat sebagai disiplin ilmu yang dinamis juga terus mengarahkan manusia untuk selalu "mencintai kebijaksanaan". Hal ini tercermin dalam aliran pemikiran penganut postmodernisme yang berpandangan bahwa dunia bukanlah totalitas benda, tetapi makna. Semuanya adalah makna; makna adalah segalanya. Apa pun sesuatu itu, ditentukan oleh maknanya.

Klemens, seorang filsuf asal Alexandria menyatakan bahwa filsafat bertugas mencari kebenaran. Dan kendati menurut Ernest Geher bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sukar dipahami, multi bentuk, batiniah, subyektif, tetapi bagi seorang filsuf sejati, kesulitan demi kesulitan justru menjadi medan tantangan untuk mencapai kebenaran hakiki.

Di tengah masyarakat pluralistis dan perubahan zaman yang begitu cepat dengan segala tawaran dan perkembangan baru yang membentuk dan menentang masyarakat manusia, kiranya para filsuf perlu bekerja keras untuk mempertegas jatidiri dalam fungsi sosialnya.

Buku Filsafat yang Berkesudahan ini merupakan kumpulan karangan yang dimaksudkan sebagai sumbangan untuk diskusi ataupun perdebatan tentang apa sebaiknya fungsi sosial filsafat dalam masyarakat pluralistis, dan khususnya perdebatan tentang purnamodernisme.

Esai yang pertama adalah semacam "latihan" untuk mendekatkan dua bidang yang umum dianggap berbeda dalam kerangka pikiran "modern", yakni filsafat dan kesusastraan, karena dalam perspektif purnamodern kedua bidang itu harus dijadikan satu.

Pikiran itu dapat berupa mimpi yang diceriterakan atau dapat berarti menyangkut impian. Struktur pembingkaiannya: A bercerita kepada B suatu cerita C dan D, sedemikian rupa sehingga C mengisahkan suatu cerita kepada D, tentang E dan F, dan dalam cerita baru itu E menceritakan kepada F tentang G dan H, seterusnya demikian. Ada (katakanlah) induk kisah, anak kisah, cucu kisah, cicit kisah, dan seterusnya. Pada tahap "cucu", pendengar sudah tidak dapat memproses informasi itu lagi dan mulai mengalami suatu keadaan "trans" (hal. 13).

Demikianlah filsafat berperan naratif yang menceriterakan tentang: kisah orang "Lain", tentang pengisah, menghasilkan kisah baru tentang pengisah oleh pengisah, yang kini dapat membebaskan diri dari si Lain sebagai penguasa, dan menemukan yang lain sebagai teman, sebagai pelengkap, sebagai perspektif dan sebagai harapan.

Karangan kedua menjelaskan purnamodernisme tanpa komplikasi sistematis. Perspektif purnamodernisme menyatakan bahwa pengetahuan dilihat sebagai keseluruhan dari apa yang kita ketahui. Identitas manusia dapat dilambangkan dengan banyak cara; interioritas manusia dapat dipahami sebagai pengaruh ke-efektif-an dan emosionalan dalam salah satu "pusat" yang dianggap tidak selalu harus atau tidak dapat menjadi kentara secara lahiriah. Pencapaian kepastian lahir dari keinginan untuk mengatasi skeptisme (hal. 21).

Karangan ketiga secara aklusif menyajikan tema purnamodern. Sebelum abad ke-17 "rasio" dianggap suatu keluhuran yang membedakan manusia dari binatang, kemudian rasio itu mulailah dianggap sebagai keluhuran eliter yang membedakan kaum ahli "idiologi", kaum "idiologi" dari rakyat kecil yang dianggap begitu bodoh, berbahaya dan tanpa moralitas.

Salah satu akibat dari perkembangan tersebut adalah: pemerintahlah yang rasional, dan tentunya secara istimewa kaum "filosofi", sedangkan yang lain tidak tidak rasional. Maka dari itu, bayangan zaman "Pencerahan" tentang pemerintah adalah: "memerintah" itu sama dengan "mengajar".

Dalam zaman "Pencerahan" itu, Pemerintahlah yang bijaksana, yang lain bodoh; yang tahu kebenaran adalah pemerintah sedangkan warga negara adalah golongan yang perlu ditolong untuk mengetahui kebenaran. Tidak mengherankan, seluruh pendidikan hanya dianggap "aman" bila di tangan pemerintah (hal. 42).

Pada zaman "modern", rasio manusia adalah alat untuk berkuasa. Demokrasi terus berkembang, dan pemerintah tidak sama lagi dengan "mengajar". Maka dewasa ini dalam banyak negara yang paling demokratis pun campur tangan pemerintah dalam hal sistem sekolah tetap kuat. Sebagian karena penentuan konstitusional dan sebagian lagi karena suatu tradisi yang lama, tradisi yang memandang pegawai sebagai orang yang menarik perhatian.

Juga dalam politik "pendidikan", terjadi sentralistis birokratis dan kehomogenitas pengurusan pendidikan. Hal-hal seperti itu dapat dimengerti hanya dalam bayangan pemerintah yang menafsirkan pemerintah sebagai suatu sumber pengertian dan kebijaksanaan (hal. 44).

Jadi, dalam masa Pencerahan "rasio" menjadi lambang pengetahuan, sumber kepastian, dasar kekuasaan (dewasa ini disebut "pengetahuan instrumental" yaitu pengetahuan sebagai alat kekuasaan). Sebelum abad ke-18 rasio dimengerti sebagai sesuatu yang membedakan manusia (yang ber-rasio) dari binatang (yang tidak ber-rasio). Maka pada zaman Pencerahan, rasio itu membedakan orang yang berkuasa dari rakyat kecil yang miskin dan yang dianggap bodoh, tak terpercayai, penuh takhyul, tanpa keseimbangan, dan tidak bermoral.

Karangan keempat mengetengahkan apa yang menjadi sifat purnamonernisme. Tugas filsafat bukannya untuk menjadi pengganti teologi atau iman. Bahkan di luar iman dan teologi, filsafat bukan suatu sumber kebenaran agung berdasarkan usaha filosofis itu sendiri.

Dulu masyarakat dipimpin oleh pemimpin-pemimpin agama. Perspektif ini lalu disekularisasi, sehingga filsuflah yang dianggap pantas memimpin (ingat bayangan filsuf sebagai raja pada Plato). Kini sedang menjadi makin jelas bahwa filsuf pun tidak terpanggil untuk memimpin berdasarkan identitas profesionalnya sebagai filsuf.

Sebaliknyalah, kini filsuf sudah menjadi bukan orang yang berwibawa, melainkan ahli penafsir-semacam "fasilitator" dialog dalam masyarakat pluralistis-penengah antarwacana, dan pemecah soal-soal kontradiksi yang menjadi sasaran tugas "dekonstruksi".

Tidak mengherankan, dewasa ini filsafat mulai diidentifikasi dengan sastra. Filsuf dan sastrawan, apa bedanya? Semakin lama semakin tampak, bagi semakin banyak orang, bahwa kiranya tak ada perbedaan hakiki antara sastra dan filsafat dan antara sastrawan dengan filsuf.

Tentunya, selamanya akan ada filsafat, dan seorang filsuf selalu dapat menemukan identitasnya di bidang itu. Bukan filsafat gaya Plato, yakni filsafat sebagai "kebijaksanaan" (dan bukan pertama-tama sebagai "pengetahuan"); bukan pulalah filsafat yang lebih realistis dan mengaku mencari pengetahuan, karena pengetahuan filosofis tetap mengandaikan adanya sumber pengetahuan yang bertransendensi terhadap hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan; bukan juga filsafat sebagai "agregat" hasil-hasil ilmu pengetahuan, seperti dalam positivisme; melainkan filsafat penafsir, pendamai, penemu cara yang dapat diterima oleh semua pihak.

Orientasi macam itu akan juga mengubah fungsi sosial filsafat. Ia bukan metafisika yang berupa teologi yang disekularisasi; jadi bukan semacam "imamat" sekular, seperti halnya sebelum Descartes. Bukan juga metafisika yang mengabdikan diri kepada negara, dalam usaha menentukan apa yang paling baik untuk orang lain tanpa orang lain itu dimintai pendapat tentang nasibnya sendiri. Akhirnya bukan pula filsafat akademis yang menuntut akreditasi melalui gelar-gelar akademis, sehingga sang filsuf dapat berbicara terus kepada orang yang terpaksa diam saja (hal. 69).

Buku ini ditutup dengan suatu karangan tentang berbagai aliran mutakhir di bidang purnamodernisme, dengan memperhatikan pula dimensi historis aliran tersebut, yakni karangan yang berjudul Antihumanisme, Dekonstruksi, dan Fragmentasi Identitas.

Mereka yang ingin memperdalam pengetahuan tentang purnamodernisme dapat menemukan elemen-elemen yang relevan dalam buku ini. Akan tetapi, bagi yang ingin melengkapi pengetahuan filsafatnya ataupun bahkan yang mulai belajar filsafat, buku ini juga banyak menambah pengetahuan. Apalagi bagi para mahasiswa.


(P Efrem Zuba, CssR, pemerhati masalah sosial, pastor pada Sanggar Misi Umat Redemptoris Elopada, Sumba Barat, NTT )

No comments: