Suara Merdeka, Kamis, 28 September 2006
Oleh Didik G Suharto
Diakui atau tidak sistem kepegawaian kita belum menggembirakan. Mulai dari sistem pengadministrasian, renumerasi, perekrutan hingga pembinaan dan pengembangan pegawai nampak sekali banyak kelemahannya.
Keruwetan penerimaan CPNS oleh sebagian kalangan dipandang bentuk refleksi ketidaksiapan dan kekurang profesionalan panitia daerah. Pemprov sebagai koordinator penyeleksian sekaligus penentu lolos tidaknya pelamar terlihat kurang memuaskan dalam melaksanakan fiungsinya, terutama tatkala terjadi revisi pengumuman hasil seleksi. Demikian pula Pemkab/ Pemkot sebagai pelaksana teknis lapangan juga masih belum menunjukkan hasil maksimal di beberapa daerah, khususnya saat pendaftaran dan pelaksanaan tes.
Kekacauan proses perekrutan amat dipengaruhi sistem yang berlaku. Sebagai hal baru pelaksanaannya mengakomodasi PP No 48 Th 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi PNS menyebabkan panitia daerah kedodoran. Mengacu PP tersebut, selain berakibat pada jumlah peserta tes membeludak, juga metode penentuan calon yang lolos lebih kompleks dan rumit. Implikasinya berdampak pada pelaksanaan di lapangan yang terjadi bermacam - macam masalah.
Sejak awal pelaksanaan PP tersebut mengundang kontroversi. Di antara sorotan diarahkan pada mekanisme perekrutannya, pihak guru bantu swasta mempersoalkan ketentuan dalam PP No 48 Th 2005 dinilai bersifat diskriminatif.
Persoalan lain, jenis tenaga honorer yang diprioritaskan diangkat meliputi : tenaga guru; kesehatan; tenaga penyuluh pertanian, perikanan, dan peternakan; serta tenaga teknis lain. Di sini termasuk guru bantu, guru honorer, guru wiyata bhakti, pegawai honorer, pegawai kontrak, pegawai tidak tetap, dan lain-lain yang sejenisnya.
Jadi tenaga honorer selain jenis itu (misalnya tenaga administrasi / tata usaha) tidak diprioritaskan. Kenyataannya, menurut penelitian BKN 60 % CPNS yang direkrut merupakan pegawai administrasi atau tata usaha (Suara Merdeka, l7/9/2006).
Selain itu gejolak muncul terkait aturan usia dan masa kerja. Seperti dinyatakan pada Pasal 3 dan 4; pengangkatan tenaga honarer yang berusia paling tinggi 46 dan mempunyai masa kerja lebih 20 tahun secara terus - menenus hanya melalui seleksi administrasi, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi. Sedangkan tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 dan dengan masa kerja antara 10 - 20 tahun, atau berusia paling tinggi 40 tahun dengan masa kerja 5 - 10, atau berusia paling tinggi 35 tahun dengan masa kerja 1 - 5 tahun secara terus- menerus; selain melalui administrasi, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi juga harus mengikuti tahapan lain yang dibedakan dengan pelamar umum. Mengacu batasan usia di atas, umur maksimal dalam PP tegas dinyatakan 46 tahun. Perkara usia dan masa kerja ini yang belakangan banyak menjadi batu sandungan tenaga honorer. Pada sudut lain ternyata tidak sedikit data yang dimanipulasi.
Menyimpan Masalah
Terlepas tujuan mulia PP dalam memberikan perlakuan istimewa kepada tenaga honorer untuk bisa diangkat menjadi PNS, PP ini memang sejak awal menyimpan masalah. Sejumlah persoalan dalam PP yang potensial berdampak negatif di kemudian hari.
Pola perekutan seperti itu di satu sisi mencerminkan keadilan pengabdian, tapi di sisi lain menyimpan kelemahan. Kelemahannya, struktur organisasi berpotensi mengalami ketimpangan kaderisasi dan pengembangan SDM. Perlu diingat, ketentuan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sesuai amanat PP ini dilakukan bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 nanti. Artinya, minimal hingga tahun 2009 mendatang pola kaderisasi akan sedikit terhambat.
Pertama, diskriminasi antara tenaga honorer negeri dan swasta. Tenaga honorer swasta tidak disebutkan ternasuk yang diatur dalam PP. Sesuai definisinya, tenaga honorer yang bukan berasal dari instansi pemerintah atau penghasilannya bersumber dari APBN /APBD tidak termasuk yang diatur dalam PP ini. Tidak dimasukkannya tenaga honor swasta menimbulkan keresahan kalangan guru swasta.
Kedua, problem kaderisasi. Diperkirakan beberapa tahun mendatang setelah keluarnya PP No 4812005, struktur kepegawaian nasional mayoritas akan didominasi mereka yang relatif sudah berumur, sebab prioritas kebijakan perekrutan CPNS baru memang diarahkan mengangkat tenaga honorer yang telah berumur dan mengabdi lama. Sementara hanya sebagian kecil alokasi formasi CPNS ditujukan bagi SDM berusia muda.
Pola perekrutan seperti itu di satu sisi mencerminkan keadilan pengabdian, tapi di sisi lain menyimpan kelemahan. Kelemahannya, struktur organisasi berpotensi mengalami ketimpangan kaderisasi dan pengembangan SDM.
Perlu diingat, ketentuan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sesuai amanat PP ini dilakukan bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 nanti. Artinya minimal hingga tahun 2009 mendatang pola kaderisasi akan sedikit terhambat.
Ketiga, struktur kepegawaian dan organisasi tidak terkendali. Di Indonesia seringkali pemekaran struktur dilakukan bukan karena pertimbangan fungsional untuk memperluas jangkauan pelayanan publik, tetapi karena sekedar memenuhi tuntutan struktur itu sendiri.
Tidak Ideal
Saat ini PNS di seluruh Indonesia berjumlah tak kurang 3,7 juta, dan hanya sekitar 120 ribu PNS pensiun setiap tahunnya. Sedangkan data tenaga honorer di BKN saja mencapai 861 ribu yang kalau menurut aturan mereka baru diangkat paling lambat tahun 2009.
Tidak idealnya perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah pegawai yang berlebih, pada gilirannya akan mengurangi efektivitas dan efisiensi kerja. Bukti menunjukkan adanya realitas kantor pemerintah yang masih rendah kinerjanya.
Gejala demikian merupakan indikasi adanya struktur kepegawaian dan pengembangan SDM yang kurang tepat.
Efektivitas dan efisiensi organisasi akan terhambat oleh struktur kepegawaian yang tidak baik. Kita lihat saja anggaran belanja pemerintah baik di pusat atau di daerah sebagian besar habis dialokasikan untuk belanja pegawai. Anggaran pembangunan untuk masyarakat luas terpaksa ditangguhkan karena terjadi defisit anggaran. Demikian halnya sisi efektivitas. Struktur organisasi dan kepegawaian yang gemuk akan cenderung lambat dalam bergerak.
Pelayanan publik pun tidak dapat direspon dengan maksimal. Pemerintah dipandang perlu untuk melakukan analisa beban kerja sehingga SDM yang ada memang benar- benar dibutuhkan organisasi.
Keempat, objektivitas dan transparansi. Meski sudah dinyatakan pada Pasal 7, bahwa pengangkatan tenaga honorer dilakukan secara objektif dan transparan, model perekrutan CPNS seperti PP No 48/ 2005 diakui cukup rentan terhadap penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud ialah terkait kemungkinan manipulasi / pemalsuan data- Ini dapat dimaklumi sebab sekarang data amat menentukan pengangkatan tenaga honorer, Prioritas pengangkatan ditentukan rangking dari data usia dan masa kerja tenaga honorer, yang mana data tersebut tidak menutup kemungkinan mengalami rekayasa
Sekadar mengingatkan, isu yang hampir selalu muncul dalam proses perekruten PNS ialah adanya praktik kolusi, nepotisrne, dan suap.
Dari tahun ke tahun isu tersebut berhembus di kalangan masyarakat. Tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan bahvva perekrutan dilakukan secara profesional. Mereka harus konsisten menerapkan aturan demi terwujudnya kredibilitas hasil seleksi. Prinsip objektivitas dan transparansi mesti dijunjung tinggi.
Perbaikan Sistem
Berpijak dari permasalahan di atas dan lebih luas lagi mengamati kondisi sistem kepegawaian kita saat ini, ada baiknya pemerintah memperbaiki beberapa hal sebagai berikut :
Satu,benahi perangkat aturan yang ada. Ketentuan kepegawaian seperti tercantum dalam UU No 8/1974 tentang Pokok - pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43/1999 belum mampu menyentuh persoalan kepegawaian dan belum bisa menjadi pedoman yang komprehensif untuk mewujudkan PNS-PNS kita supaya menjadi SDM yang handal dalam menunjang pemerintahan dan pembangunan.
Kebijakan pemerintah sering kali bersifat sepotong- sepotong (parsial), cenderung reaktif, dan tak jarang hanya berhenti pada tataran retorika.
Lima RUU yang diajukan Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara untuk menata birokrasi; yaitu RUU Etika Pemerintahan, RUU Hukum Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, RUU Kementerian Negara, dan RUU Kepegawaian Negara; pantas didukung. RUU tersebut perlu secepatnya direalisasikan menjadi UU. Paling tidak dengan UU itu upaya untuk mereformasi birokrasi bisa secepatnya terwujud.
Sasarannya supaya pemerintah memiliki grand design penataan birokrasi, dan sebaliknya tidak hanya mengeluarkan kebijakan yang cenderung "tambal sulam".
Dua, peningkatan kualitas perencanaan. Problem mendasar amburadulnya sistem kepegawaian kita awalnya bersumber dari kurang diperhatikannya pola perencanaan SDM dalam tubuh birokrasi. Contoh, membengkaknya jumlah pegawai, ketidakseimbangan komposisi kompetensi pegawai yang dibutuhkan, dan persoalan yang menghangat akhir-akhir ini terkait kemungkinan terlambatnya pembayaran gaji guru bantu.
Itu semua membuktikan kualitas perencanaan, baik di pusat maupun daerah, masih belum memuaskan.
Langkah tepat seandainya pemerintah (Kantor MenPAN / BKN) menata kembali data seluruh pegawai. Keakuratan data ini akan menentukan perencanaan pembinaan dan pengembangan pegawai.
Sungguh ironis bila data antara BKN, pemerintah daerah, dan departemen berbeda-beda. Sinyalemen pemerintah terhadap adanya NIP dobel, pegawai sudah meninggal tapi masih dimasukkan dalam daftar gaji, atau adanya pegawai yang bekerja tidak efektif bisa dihindari bila data base ini dimiliki pemerintah. Jadi, keakuratan data jelas akan mencegah kerugian negara dan masyarakat. Bagi negara, uang negara bisa diselamatkan. Bagi masyarakat, pelayanan dan birokrasi lebih maksimal.
Tiga, peningkatan profesionalitas. Untuk mendapatkan kinerja pegawai (birokrasi) unggul, profesionalisme pegawai merupakan syarat mutlak. Sekali lagi ini berhubungan dengan pola pengembangan kelembagaan. Pemerintah harus dapat meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pegawai. Sebagai konsekuensinya faktor kesejahteraan pegawai menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Prinsip anggaran berbasis kinerja sebenarnya selaras dengan upaya pemerintah menata kepegawaian birokrasi. Strategi peningkatan kesejahteraan pegawai lebih bermakna jika diiringi penerapan reward and punishment yang dijalankan secara konsisten.
Sebagai penutup, mengingat demikian rumitnya persoalan kepegawaian di negara kita, diperlukan kerja keras dari pemerintah untuk membenahinya. Diyakini hal itu bukan perkara mudah. Isu di seputar kepegawaian terkadang cukup sensitif karena kadangkala juga menyangkut faktor keuangan, sosial, dan politik. Sulit dibayangkan membiarkan Kantor Kementerian PAN menyelesaikan semuanya sendirian tanpa kontribusi pihak berkompeten lainnya (11)
--- Didik G. Suharto, S.Sos, M.Si, Dosen Administarasi Negara, FISIP UNS Surakarta
Tuesday, November 20, 2007
Menata Sistem Kepegawaian
Posted by ucupneptune at 8:55 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment