Rijanto
SIDANG ijmak Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa bunga bank itu riba dan diharamkan mendapat tanggapan macam-macam dari kalangan masyarakat. Fatwa tersebut pada dasarnya mengacu kepada berbagai kesepakatan dan pendapat yang pernah ada di kalangan ulama sedunia, seperti Pusat Riset Islam Al Azhar, Mesir, Mei 1965, pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Desember 1970, dan Lembaga Fiqih Rabithah Alam Islami Mekkah serta Konferensi Ekonomi Islam Internasional di Jeddah tahun 1976 yang dihadiri 300 ulama sedunia.
FATWA yang belum lama ini dikeluarkan pada dasarnya sudah merupakan landasan hukum bagi umat Islam untuk "tidak lagi" mempergunakan jasa bank-bank konvensional yang secara tradisional sejak lama telah melayani masyarakat yang menggunakan jasanya dengan memberi imbalan berbagai bentuk, terutama dalam bentuk bunga. Dalam Al Quran antara lain dijelaskan bahwa sistem riba menyebabkan petaka besar bagi umat manusia karena di dalamnya ada unsur "saling menzalimi" dan membuat para pelaku seperti "orang bingung/gila" yang dilukiskan seperti orang "kemasukan setan lantaran penyakit gila".
Riba yang dilarang dalam ayat-ayat suci Al Quran ialah riba nasiah/riba jahiliah dan penegasan ini sejalan dengan hadis riwayat Usamah bin Zaid bahwa Nabi Muhammad SAW antara lain bersabda: "Bahwa sesungguhnya riba itu hanya terdapat pada penundaan pembayaran." Dari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan, praktik yang dilakukan oleh bank-bank konvensional dengan menerima berbagai bentuk simpanan dari masyarakat dengan memberi imbalan lebih berupa bunga (terlebih yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat/BPR) dengan memberi imbalan bunga berlebihan) merupakan bentuk riba yang dinilai berlebihan dan tidak syariah.
Masalahnya menjadi rumit karena berbagai bentuk kegiatan bank konvensional terkait erat dengan masalah riba, di mana hasil yang diperoleh atau diterima berasal dari sumber yang dianggap haram, seperti:
a) penerimaan dari bunga pinjaman (baik pinjaman kepada debitor, pinjaman antarbank, serta pinjaman lainnya) yang merupakan bagian terbesar dari pendapatan bank.
b) penempatan dana bank dalam berbagai bentuk investasi, seperti surat-surat berharga (obligasi, SBI, sertifikat deposito, commercial paper, maupun bentuk penempatan lainnya seperti giro maupun deposito pada bank lain yang berbunga).
c) melakukan transaksi dengan menerima diskonto dalam bentuk jual beli surat-surat berharga dan lainnya (kupon obligasi, danareksa, atau diskon penutupan asuransi) melakukan diskonto terhadap wesel ekspor dan sebagainya.
d) menjadi perantara dalam berbagai kegiatan ekspor, impor, perdagangan antarpulau yang kesemuanya memperoleh imbalan, terlebih lagi apabila transaksi tersebut menyangkut pemberian uang muka dan sebagainya.
Dilihat dari sisi bank konvensional ini, kondisinya menjadi lebih rumit apabila dilihat (sampai dengan Juli 2003) perbankan yang bersangkutan memegang/menerima simpanan (yang berbunga ) dalam bentuk giro sebesar Rp 205,4 triliun, tabungan dan simpanan lainnya sebesar Rp 204,8 triliun (termasuk di dalamnya program tabungan haji), dan deposito berjangka berjumlah Rp 446 triliun.
Apabila jumlah simpanan yang berimbalan bunga tersebut pada suatu saat berpindah, misalnya 20 persen saja, atau sekitar Rp 170 triliun ke bank syariah, maka dapat menimbulkan kesulitan bagi bank konvensional yang bersangkutan maupun bagi bank syariah sendiri. Namun, kemungkinan tersebut masih belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Demikian pula bagi bank syariah yang akan menerima limpahan dana tersebut diperkirakan juga akan menghadapi masalah dalam pemanfaatannya.
Problema dalam implementasi
Implementasinya memang tidak semudah diperkirakan, tidak saja dilihat dari segi masyarakat, tetapi juga dari segi kebijakan pemerintah atau bank sentral yang telah berjalan. Dari hasil survei BI tahun 2000 di sejumlah wilayah yang diduga mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Jabar, Jateng, Yogyakarta, Sumbar, dan Jambi, dapat diperoleh kesimpulan bahwa dari 5.500 responden ternyata lebih dari 58 persen masih berpendapat bahwa bank-bank konvensional dianggap tidak melakukan riba.
Walaupun opini ini belum dapat mewakili dan merupakan pendapat seluruh masyarakat Indonesia, dapat diduga bahwa sejauh ini pelayanan perbankan dengan memberi imbalan bunga, dan terlebih lagi ditambah dengan iming-iming hadiah, tampaknya belum dapat dihilangkan dari kebiasaan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang masih memimpikan hadiah besar. Walaupun dewasa ini perbankan pada dasarnya dilarang untuk memberikan hadiah dengan sistem undian, kenyataannya hadiah-hadiah besar disediakan, antara lain oleh Bank Mandiri, BCA, Danamon, atau Bank BNI. Bagi pemegang rekening tabungan yang memenangi undian pada hakikatnya juga tidak berbeda dengan sistem yang dilarang tersebut.
Ditinjau dari sisi pelaksanaan kebijakan pemerintah (di bidang fiskal) maupun Bank Sentral (kebijakan moneter dan devisa) juga menghadapi berbagai masalah yang tidak mudah solusinya. Upaya pemerintah untuk menarik dana masyarakat melalui pengeluaran obligasi dengan bunga kompetitif untuk antara lain memperkuat penerimaan APBN merupakan hal yang bertentangan dengan fatwa tentang bunga. Demikian pula kebijakan pemerintah untuk mengenakan denda bunga bagi wajib pajak yang lambat membayar pajak.
Berbagai kebijakan pengendalian moneter maupun devisa bank sentral dengan menggunakan cara-cara seperti operasi pasar terbuka (OPT), baik di pasar uang rupiah (melalui instrumen SBI) maupun valas, menetapkan tingkat diskonto, pengaturan kredit, atau pembiayaan yang juga tidak jarang menetapkan tingkat bunga seperti bunga usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi atau program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan sebagainya juga akan bersinggungan dengan masalah bunga yang dianggap haram tersebut.
Bagi bank sentral yang di dalam undang-undangnya juga menyinggung masalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yaitu penyediaan uang atau tagihan antara BI dan bank dengan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 hari dengan agunan yang berkualitas tinggi (kemungkinan SBI atau simpanan valas di bank-bank asing tertentu) dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sejumlah kredit yang diterima dari BI tersebut, bank- bank yang mempergunakan dana BI tersebut diwajibkan mengembalikan uang atau tagihan dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Walaupun ketentuan tersebut sejauh ini belum banyak yang memanfaatkan, dapat diduga bentuk jaminan yang berkualitas tinggi tersebut dan mudah dicairkan tidak lain juga SBI atau agunan lain yang likuid.
Sementara itu, kalau masalah bunga haram ini dikaitkan dana haram, terutama dana yang berasal dari tindak kejahatan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pencucian Uang (No 15 tahun 2002 dan perubahannya No 25 Tahun 2003), maka perbankan yang sudah "terkontaminasi" dengan dana-dana haram tersebut akan semakin sulit dideteksi.
Dalam undang-undang tersebut, semua dana yang berasal dari berbagai tindak kejahatan, seperti korupsi, sogokan atau suap, penyelundupan, perjudian, perdagangan obat bius, kejahatan atau fraud di perbankan, asuransi, perdagangan senjata, penculikan, dana terorisme dan sebagainya, semuanya merupakan sumber-sumber dana yang diharamkan.
Terlebih lagi sumber-sumber dana terorisme yang dicurigai berasal dari sejumlah bank di Timur Tengah dan kemungkinan disalurkan melalui bank- bank syariah menjadi lebih banyak dicurigai karena kasus-kasus yang melibatkan bank-bank tersebut.
Dapat disimpulkan, apabila masalah yang diharamkan tidak saja menyangkut bunga, tetapi juga dana-dana yang berasal dari tindak kejahatan, masalahnya akan semakin rumit karena bank-bank dewasa ini juga diminta melapor ke Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap dana-dana yang dianggap mencurigakan.
Rijanto Pengamat Perbankan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0312/23/finansial/764580.htm
No comments:
Post a Comment