Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Tuesday, November 20, 2007

TUKANG POTRET: 1857 – 1950

Diperkirakan di sayap kiri bagian atas gedung Museum Sejarah DKI Jakarta di Jl Falatehan 1, Jakarta Barat, adalah tempat Pangeran Diponegoro pernah dipenjarakan.
Pahlawan nasional ini dipenjara di salah satu kamar dari gedung stadhuis atau balaikota yang kala itu juga berfungsi sebagai pengadilan dan penjara. Pangeran dari Kesultanan Islam Mataram ini ditangkap dekat Magelang, Jawa Tengah, dengan tipu muslihat yang sangat licik.
Sebelum diasingkan ke Manado (1830), pangeran terlebih dulu dipenjarakan di gedung yang kini berusia lebih tiga abad. Mungkin karena keturunan ningrat, pangeran luput dipenjarakan di bawah tanah gedung tersebut yang dikenal sebagai penjara tidak manusiawi. Banyak narapidana mati sebelum perkaranya disidangkan. Bukan saja karena penyiksaan, tapi penyakit akibat harus tinggal dengan puluhan orang dalam sel sempit dan gelap yang tinggi kamarnya saja orang harus menundukkan kepala.
Di tempat yang diperkirakan Diponegoro ini pernah dipenjarakan, kita dapat menyaksikan 70 foto yang diberi judul: Kehidupan sehari-hari di Jakarta 1857 - 1950. Foto-foto masa kolonial ini merupakan pilihan dari ratusan foto koleksi Royal Tropical Institute di Amsterdam yang diberikan kepada Museum Sejarah DKI Jakarta. Di zaman kuda makan kue apem satu setengah abad lalu, kita dapat menyaksikan kesibukan lalu lintas Batavia.
Seperti trem kuda, kemudian digantikan trem uap, dan berakhir dengan trem listrik. Kala itu, sungai dan kanal-kanal yang banyak dibangun Belanda merupakan urat nadi transportasi, seperti perahu yang berseliweran membawa penumpang dan barang. Sementara ratusan perempuan berjejer di tepi sungai di Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk serta sepanjang sungai di Pasar Baru tengah mencuci pakaian.
Sejarah fotografi di Indonesia dimulai 1857, ketika dua orang tukang potret Woodbury dan Page membuka studio foto pertama mereka di sekitar Harmonie, Batavia. Ini terjadi hanya 18 tahun setelah penemuan dunia fotografi pada 1839. Sejak adanya studio foto di Batavia, banyak para tukang foto baik yang profesional maupun amatir membuat gambar hiruk pikuk kota dengan keanekaragaman etnisnya.
Tentunya dengan teknologi yang masih sangat sederhana, berupa kamera yang sangat berat, lensa yang mudah pecah, dan proses pembuatan gambar yang memakan waktu lama. Saat itu hanya dapat dibuat gambar dari obyek dengan posisi statis dan belum memungkinkan untuk membuat gambar dengan obyek bergerak. Tidak heran, foto-foto tertua hasil cetakan Woodbury dan Page yang menampilkan sebuah kota selalu sepi karena obyek yang bergerak tidak nampak dalam foto.
Sebagian besar foto pada masa itu dibuat dalam studio. Karenanya terdapat gambar pedagang makanan dengan para pembelinya membelakangi sebuah layar. Tampaknya untuk membuat foto ini, pedagang dan pembelinya harus digiring masuk studio foto. Pada masa sesudahnya, para juru foto menemukan pasar peminat foto-foto yang menurut kacamata Barat sangat eksotik, seperti foto seorang pengrajin, warung, wayang, penari ronggeng, dan pecandu opium. Kesemuanya harus masuk ke studio untuk dijepret juru potret dengan latar belakang gambar pohon palem atau hutan tropis untuk menciptakana suasana Asia (Indonesia).
Pada tahun 1900 terjadi kemajuan teknologi kamera yang dibuat lebih ringan dan tidak memerlukan waktu lama dalam pengambilan gambarnya yang memungkinkan para jurufoto mengambil foto di luar studio. Setelah 1920 kamera semakin ringan, harganya pun makin murah. Masyarakat Belanda di Batavia lantas banyak mengirimkan foto-foto pada keluarga mereka di negeri Belanda dan para wisatawan yang datang ke Batavia juga membuat foto kenang-kenangan mereka sebagai cinderamata. Banyak dari foto ini yang kemudian disumbangkan ke museum yang kini menjadi warisan penting bagi kita.
Di antara foto-foto yang tersimpan di Museum Sejarah Jakarta terlihat suasana di Pasar Pagi, Glodok, Jakarta Kota pada tahun 1930-an. Pasar ini masih nampak sepi baru berupa warung-warung kecil. Padahal pada tahun 1970-an pasar ini merupakan salah satu pusat perbelanjaan grosir terbesar di ibukota yang kini telah dipindahkan ke Manggadua.
Jalan Jatinegara Timur yang kini merupakan kawasan pertokoan paling ramai di Jatinegara, di foto kuno itu tampak lalu lintasnya masih didominasi sado dan sepeda pada 1920-an. Tidak terlihat mobil satupun yang melintas. Tapi, suasana di Pasar Gambir (kini Monas) di foto yang diambil dari udara tampak menyedot pengunjung pada 1920-an. Pasar Gambir diadakan tiap tahun sejak 1898 untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina dari Belanda (nenek dari Ratu Beatrix sekarang). Rupanya minat penduduk Batavia yang belum berjumlah setengah juta jiwa kala itu untuk menonton Pasar Gambir tidak kalah dengan padatnya PRJ (Pekan Raya Jakarta) sekarang.
Di Museum Sejarah DKI kita dapat melihat kembali bagaimana indahnya Hotel Des Indes di Jl Hayam Wuruk. Sampai awal 1960-an hotel itu merupakan hotel terbaik di Jakarta sebelum dibangun HI. Foto lain menunjukkan sebuah toko milik orang Arab di Batavia yang pemiliknya memakai jubah, sorban, dan peci putih. Barang dagangan yang digelar layaknya banyak terlihat di Tanah Abang sekarang ini. Seperti, minyak wangi, madu, korma, dan tasbih. Tampak pula pedagang Cina dengan rambut dikepang tengah menjual tekstil keliling kampung memakai keranjang seperti tukang loak.
Masih ada foto pedagang India di Pasar Baru yang berjualan tekstil dan jasa penjahitan. Diantara foto tahun 1950, tampak trem yang penumpangnya membludak tidak kalah dengan KRL Jabotabek sekarang ini. Itulah secuil jepretan tukang potret kuno tentang kehidupan sehari-hari di Betawi di masa 1857-1950. (Alwi Shahab).

No comments: