Business Accounting
An online business accounting resource that's FREE! Learn accounting principles, business investments, debits and credits, financial ratios, improving profits, breakeven point, and more. Accountingcoach.com will help you become financially literate. Online Accounting Course
The best online accounting course, and it's FREE! Learn accounting principles, debits and credits, financial ratios, breakeven point, improving profits, and more. Accountingcoach.com's online accounting course will help you become financially literate.
Google
Harstone Pottery is handmade in Ohio! It takes 8 days to make a piece. Start your collection today! Perfect for gifts!

eranon

TRY THIS ! ! !






Monday, November 19, 2007

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN HUKUM

ZULKARNAIN

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Pemikiran tentang hukum di abad ke-19 secara sederhana terbagi atas 3 (tiga) aliran mazhab. Dimulai dari aliran positivisme, aliran utilitarianisme, dan mazhab sejarah. Setiap aliran itu menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah Kelahiran mazhab yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif (Lili Rasyidi, 1996: 68, 69).

Mazhab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat.

Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara

hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia (Lili Rasjidi, 1991; 48 dan Lili Rasjidi, 1996; 70). Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum, tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-undangan sebagai sumber hukum (Lili Rasjidi, 1996; 70). Tulisan ini bermaksud merinci argumentasi, betapa pemikiran hukum Madzab Sejarah sangat membutuhkan koreksi untuk diterapkan pada lingkungan berlaku masyarakat modern yang kompleksitas kebutuhan dan kepentingan hidupnya berkembang cepat.

KELAHIRAN MADZAB SEJARAH; INSPIRASI DAN REAKSI

Munculnya pemikiran filsafati tentang hukum pada umumnya merupakan jawaban fundamental tentang masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat pada zaman itu. Gambar-1 tentang Inspirasi dan reaksi Madzab Sejarah di bawah ini menunjukkan, terdapat 2 hal yang memicu kelahiran Madzab Sejarah ini yakni; buku Montesquieu "L' esprit des Lois" dan paham nasionalisme yang mulai tumbuh pada awal abad ke-19. Kedua hal itu, tampak sangat menonjol memberi inspirasi kepada Savigny untuk menciptakan suatu pemikiran hukum. Pemikiran tersebut selanjutnya merupakan jawabannya atas ketidaksetujuannya pada aliran hukum alam dan usulan kodefikasi hukum perdata Jerman berdasarkan Hukum Perancis.

Gambar-1

Inspirasi dan Reaksi Madzab Sejarah

Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya Madzab Sejarah adalah Montesquieu

(1689-1755) lewat bukunya L'esprit des Lois yang terlebih dahulu mengemukakan

tentang adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya (Lili Rasjid,

1996:61).

W. Friedman (1993: 86) mengatakan bahwa gagasan yang benar-benar penting dari

L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas

beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan

seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.

Dengan ide inilah, Montesquieu mulai dengan studi perbandingan mengenai undang-

undang dan pemerintahan.

R.Haryono Iman dalam kata pengantarnya pada buku Montesquieu yang berbahasa

Indonesia ini memformulasikan bahwa sistem hukum positif di berbagai masyarakat

politik yang berbeda-beda adalah relatif terhadap berbagai faktor: terhadap watak

masyarakat, terhadap hakikat dan asas bentuk-bentuk pemerintahan, iklim dan

kondisi ekonomi dan sebagainya. Keseluruhan hubungan ini membentuk jiwa

undang-undang yaitu ration d'etre bagi hukum atau landasan bagi adanya hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa gagasan Montesquieu tentang sistem hukum

merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan

manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai

perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu

dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat

yaitu faktor fisik dan faktor moral.

Faktor fisik yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibat fisiologi dan mental

tertentu. Yang harus juga dipertimbangkan adalah keadaan dataran, kepadatan

penduduk dan daerah kekuasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud

sebagai faktor moral adalah: agama, hukum, peribahasa, kebiasaan, ekonomi dan

perdagangan, cara berfikir dan suasana yang tercipta di pengadilan negara.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa Montesquieu mendekati pokok

bahasannya lebih sebagai ahli filsafat sejarah daripada semangat seorang ahli

sosiologi positivistik.

Gambar-2

Faktor-faktor Pembentuk Jiwa Undang-undang dan Peranannya

terhadap Sistem Hukum Positif

Sebagaimana dikemukakan di atas, Madzab Sejarah juga diilhami oleh paham

nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke-19. "Deutsch uber alles",

demikianlah semboyan Jerman mengekspresikan tingginya nasionalismenya (bahkan

kemudian semboyan itu terkesan menunjukkan sikap chauvinisme). Dengan

memanfaatkan eforia politik yang sedang berkecamuk pada warga negara dan

penyelenggara negara pada waktu itu, Savigny menyarankan penolakan terhadap

usul Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi: "Uber Die Notwetdigkeit Eines

Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland" (Keperluan akan adanya

kodefikasi hukum perdata negara Jerman).

Tentulah usul Thibaut, ahli hukum perdata Jerman, yang menghendaki agar di

Jerman diperlakukan kodefikasi perdata dengan berdasarkan hukum Perancis (Code

Napoleon) dirasakan tidak selaras dengan semangat nasionalisme Jerman yang pada

waktu itu sedang menggelora. Eforia nasionalisme yang cenderung chauvinistik

tersebut mustahil dapat menerima upaya pembentukan hukum yang berasal dari

jiwa bangsa lain (dalam hal ini Perancis yang meninggalkan Jerman).

Dalam suasana demikian. Savigny mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan

menyemaikan ajarannya yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan

berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa memiliki

"volgeist" (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat

diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya.

Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika

terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat

tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari

hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).

SUBSTANSI DAN PERKEMBANGAN AJARAN MADZAB SEJARAH

Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya

'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas

Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain

dikatakan:

'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu

tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) (Lili

Rasjidi. 1996: 69).

Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia

yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa rakyat)

yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga

tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan

waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh

pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat

Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya

tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan

kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh

para ahli hukumnya (Lili Rasjid 1996: 70).

Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa

pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut (W.Friedman, 1994: 61, 62).

1. Hukum ditemukant tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah

proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan

adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah

dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam

peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan

dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan

prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu

organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa

yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh

Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul

pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang

relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap

masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa

adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan

hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan

daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu

sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum

sepanjang sejarah.

Selanjutnya jika pokok-pokok ajaran madzab sejarah itu ditampilkan dalam suatu

matriks akan tampak seperti pada tabel-1 berikut ini:

OKOK-POKOK AJARAN MADZAB SEJARAH

Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya

Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat.

Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir

satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata (Lili Rasjidi,

1996: 70). Baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang-

undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch (Satjipto RahardjoJ 19B6: 24B).

Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan

lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori

oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian

juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa

antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang

saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk

hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.

Namun akhirnya, ajaran madzab sejarah ini mengalami improvisasi di tangan

pengikutnya sendiri yakni Sir Henry Maine (1822-1888) yang dalam bukunya

"Ancient Society" mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum

berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan

masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat

modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak

dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar

dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Hukum sendiri pada masyarakat ini

berkembang melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan.

Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk

membedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan

peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat

yang telah maju (Lili Rasjidi 1991: 48).

Jadi Maine membedakan adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresif.

Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui 3

cara yaitu: "fiksi, equity, dan perundang-undangan. Selanjutnya, bagi Maine,

Volgeist bukanlah sesuatu yang mistik. 0leh karena Maine mencermati bahwa dalam

perjalanan kehidupan masyarakat terdapat perkembangan dari suatu situasi yang

ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak (Satjipto Rahardjo, 1986: 250).

R.W.M Dias mengatakan bahwa pada masyarakat-masyarakat kuna (tradisional),

kedudukan hukum seseorang ditentukan oleh status, yaitu bahwa tuntutan-

tuntutannya kewajiban-kewajibannya, ditentukan oleh hukum (dalam Satjipto

Rahardjo, 1986: 250). Dengan demikian hukum yang berlaku itu adalah fiksi yakni

sesuatu yang sudah dianggap diketahui oleh masyarakat oleh karena merupakan

"jiwa"nya sendiri.

Dapat dibayangkan selaras dengan perkembangan masyarakat dari masyarakat kuna

/tradisional menuju masyarakat modern, seyogianya terlebih dahulu mengalami

transisi. Dalam pada itu dasar kedudukan hukumnya diasumsikan juga berada pada

tahap antara status dan kontrak. Konsekuensinya hukum yang berlaku adalah "fiksi

dengan dibarengi equity.

Gerakan suatu masyarakat menuju kepada masyarakat progresif ditandai oleh

runtuhnya status tersebut dan kedudukan hukum seseorang ditentukan oleh dirinya

sendiri artinya oleh kebebasannya untuk melakukan perundingan-perundingan serta

perjanjian-perjanjian dengan pihak lain.

Jika pemikiran Maine di atas ditampilkan dalam suatu matriks akan tampak lebih

kurang seperti pada Tabel-2 berikut ini.

Tabel-2

PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN HUKUM YANG BERLAKU

No. Perkembangan Masyarakat Dsr Kedudukan Hukum

Hukum yg Berlaku

1

2

3

Trasional (Kuno)

Transisi

Modern

Status

Status-kontrak

Kontrak

Fiksi

Fiksi-Equity

Fiksi-Equity-

Perundang-undangan

Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang

mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu

masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan

mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan

kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut

madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa (Sudikno Mertokusumo, 1986:

100). Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum

kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap

semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.

Mochtar Kusumaatmadja (1976: 4) mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran

dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam

mempertahankan (" preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai

kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya "pembaratan"

(westernisasi)

yang terlalu cepat,

kalau tidak hendak dikatakan berhasil

mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.

Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan

yakni (Lili Rasjidi, 1991: 49):

1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan

perundang-undangan);

2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya

tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;

3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.

Kelemahan-kelemahan di atas akan diuraikan satu persatu untuk lebih mendalami

kritik terhadap madzab ini.

1. Penolakan hukum tertulis (perundang-undangan)

Yang dimaksud sebagai hukum bagi madzab sejarah ini adalah hukum kebiasaan

tidak tertulis yang berkembang pada masyarakat sebagai pengejawantahan dari

sistem nilai. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini

adalah kesadaran hukum masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1986: 100).

Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat

masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.

Sikap seperti itu menegasikan perubahan masyarakat. 0leh karena itu, Savigny

menentang perubahan hukum. Menurut madzab sejarah ini, tugas seorang yuris dan

pembentukan hukum adalah untuk mengadakan verifikasi dan memformulasikan

hukum kebiasaan yang ada secara esensial hukum berfungsi untuk mengadakan

stabilisasi, dan bukan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan (Purnadi

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1987: 35).

Bagi masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak

mungkin pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah

yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan

aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata

pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu

ketidakpastian hukum. 0leh karena, sebagaimana pandangan madzab ini, proses

konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan

tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran

umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran

umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu.

Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari jiwa

masyarakat.

Tegasnya, monopoli aturan tidak tertulis sebagai pedoman tindakan hukum

masyarakat melahirkan ketidakpastian hukum. Interpretasi para ahli hukum

melakukan konkretisasi jiwa masyarakat, yang tidak mustahil subjektif, akan

mempertinggi kemungkinan ketidakpastian hukum.

Sifat tidak tertulis dari suatu aturan hukum juga dapat mengundang tindakan

sewenang-wenang dari kekuasaan absolut (Lili Rasjidi, 1991: 49). penguasa dapat

saja menyelewengkan makna dari jiwa masyarakat sesuai dengan harapannya

sendiri. Para ahli hukum yang bertugas menemukan hukum tidak mustahil diarahkan

penguasa. Sebab keberadaan ahli hukum sebagai penemu hukum yang menjadi abdi

kesadaran umum/kesadaran hukum sulit mengontrol kesetiaannya. Jadi jika

masyarakat hidup di bawah kekuasaan absolut sangat mungkin aturan tidak tertulis

yang disebut hukum itu untuk disalahgunakan.

Oleh karena itulah, maka Baseler (W. Friedman, 1994: 62) menentang konsepsi

romantis Savigny bahwa ahli hukum adalah agen kesadaran umum dengan

mengatakan bahwa, sebaliknya hukum rakyat, berbeda dari pengetahuan teknis dan

artifisial dari ahli hukum.

Mochtar Kusumaatmadja (1976: 4-5) mengatakan bahwa politik hukum yang

diilhami madzab sejarah yang secara apriori menolak perundang-undangan sebagai

hukum kurang menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Politik hukum yang

bermaksud melindungi golongan pribumi telah secara efektif mengisolasikan

"golongan pribumi" dari hubungan dan perkembangan hukum aktua, sehingga

mengakibatkan keterbelakangan golongan ini dalam situasi dimana golongan-

golongan yang berbeda itu harus bersaing, misalnya dalam perdagangan.

2. Ketidakjelasan konsep kesadaran hukum dan jiwa rakyat

Kesadaran hukum yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat

tentang apa hukum itu. menurut pandangan madzab sejarah ini bukanlah

merupakan pertimbangan rasional. tetapi berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai

faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah.

oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun, bukan karena mengalami

perubahan). Konsekuensinya. tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku

obyektif yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah (Sudikno Mertokusumo.

1986: 100).

Selanjutnya, konsep jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan

secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi

dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini.

Pendeknya Friedman (1994: 59) mengatakan bahwa konsep itu masih terlalu umum.

3. Inkonsistensi jiwa rakyat sebagai sumber hukum

Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa

rakyat tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum

Romawi, dia mengatakan bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik (Lili

Rasjidi, 1991: 49).

Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa

perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana

yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap bagi zaman-zaman sebelum

"corpus yuris" membentuk kodefikasi yang final (W.Friedman, 1994: 62).

Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:

a. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;

b. kodefikasi merupakan "tindakan final" dari suatu upaya memformulasikan hukum,

yang berarti akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya

sudah diperluwes.

DAFTAR PUSTAKA

Friedman. W., 1993, Teori & Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori

Hukum (Susunan I), Diterjemahkan Muhammad Arifin, Cetakan

Kedua, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

___________, 1994, Teori & Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema

Keadilan (Susunan II), Diterjemahkan Muhammad Arifin. Cetakan

Kedua. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan

Kedua, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Montesquieu, 1993, Membatasi Kekuasaan -Telaah Mengenai Jiwa Undang-

undang, Alih bahasa J.R. Sunaryo. Cetakan Kedua, Penerbit PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum

Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Diedarkan

oleh Penerbit Binacipta.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1987, Renungan tentang Filsafat

Hukum, Cetakan Keempat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.

Rasjidi, Lili, 1991, Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?, Cetakan Kelima,

Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

_________, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cetakan ke-7, Penerbit PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan R.Otje Salman, 1987, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial

(Bahan Bacaan Awal) , Cetakan Pertama, Penerbit Rajawali Pers,

Jakarta.

1 comment:

Lawrence B said...

Thanks for writing thhis