ZULKARNAIN
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Pemikiran tentang hukum di abad ke-19 secara sederhana terbagi atas 3 (tiga) aliran mazhab. Dimulai dari aliran positivisme, aliran utilitarianisme, dan mazhab sejarah. Setiap aliran itu menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah Kelahiran mazhab yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif (Lili Rasyidi, 1996: 68, 69).
Mazhab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat.
Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara
hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia (Lili Rasjidi, 1991; 48 dan Lili Rasjidi, 1996; 70). Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum, tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-undangan sebagai sumber hukum (Lili Rasjidi, 1996; 70). Tulisan ini bermaksud merinci argumentasi, betapa pemikiran hukum Madzab Sejarah sangat membutuhkan koreksi untuk diterapkan pada lingkungan berlaku masyarakat modern yang kompleksitas kebutuhan dan kepentingan hidupnya berkembang cepat.
KELAHIRAN MADZAB SEJARAH; INSPIRASI DAN REAKSI
Munculnya pemikiran filsafati tentang hukum pada umumnya merupakan jawaban fundamental tentang masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat pada zaman itu. Gambar-1 tentang Inspirasi dan reaksi Madzab Sejarah di bawah ini menunjukkan, terdapat 2 hal yang memicu kelahiran Madzab Sejarah ini yakni; buku Montesquieu "L' esprit des Lois" dan paham nasionalisme yang mulai tumbuh pada awal abad ke-19. Kedua hal itu, tampak sangat menonjol memberi inspirasi kepada Savigny untuk menciptakan suatu pemikiran hukum. Pemikiran tersebut selanjutnya merupakan jawabannya atas ketidaksetujuannya pada aliran hukum alam dan usulan kodefikasi hukum perdata Jerman berdasarkan Hukum Perancis.
Gambar-1
Inspirasi dan Reaksi Madzab Sejarah
Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya Madzab Sejarah adalah Montesquieu
(1689-1755) lewat bukunya L'esprit des Lois yang terlebih dahulu mengemukakan
tentang adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya (Lili Rasjid,
1996:61).
W. Friedman (1993: 86) mengatakan bahwa gagasan yang benar-benar penting dari
L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas
beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan
seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Dengan ide inilah, Montesquieu mulai dengan studi perbandingan mengenai undang-
undang dan pemerintahan.
R.Haryono Iman dalam kata pengantarnya pada buku Montesquieu yang berbahasa
Indonesia ini memformulasikan bahwa sistem hukum positif di berbagai masyarakat
politik yang berbeda-beda adalah relatif terhadap berbagai faktor: terhadap watak
masyarakat, terhadap hakikat dan asas bentuk-bentuk pemerintahan, iklim dan
kondisi ekonomi dan sebagainya. Keseluruhan hubungan ini membentuk jiwa
undang-undang yaitu ration d'etre bagi hukum atau landasan bagi adanya hukum.
Selanjutnya dikatakan bahwa gagasan Montesquieu tentang sistem hukum
merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan
manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai
perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu
dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat
yaitu faktor fisik dan faktor moral.
Faktor fisik yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibat fisiologi dan mental
tertentu. Yang harus juga dipertimbangkan adalah keadaan dataran, kepadatan
penduduk dan daerah kekuasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud
sebagai faktor moral adalah: agama, hukum, peribahasa, kebiasaan, ekonomi dan
perdagangan, cara berfikir dan suasana yang tercipta di pengadilan negara.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa Montesquieu mendekati pokok
bahasannya lebih sebagai ahli filsafat sejarah daripada semangat seorang ahli
sosiologi positivistik.
Gambar-2
Faktor-faktor Pembentuk Jiwa Undang-undang dan Peranannya
terhadap Sistem Hukum Positif
Sebagaimana dikemukakan di atas, Madzab Sejarah juga diilhami oleh paham
nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke-19. "Deutsch uber alles",
demikianlah semboyan Jerman mengekspresikan tingginya nasionalismenya (bahkan
kemudian semboyan itu terkesan menunjukkan sikap chauvinisme). Dengan
memanfaatkan eforia politik yang sedang berkecamuk pada warga negara dan
penyelenggara negara pada waktu itu, Savigny menyarankan penolakan terhadap
usul Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi: "Uber Die Notwetdigkeit Eines
Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland" (Keperluan akan adanya
kodefikasi hukum perdata negara Jerman).
Tentulah usul Thibaut, ahli hukum perdata Jerman, yang menghendaki agar di
Jerman diperlakukan kodefikasi perdata dengan berdasarkan hukum Perancis (Code
Napoleon) dirasakan tidak selaras dengan semangat nasionalisme Jerman yang pada
waktu itu sedang menggelora. Eforia nasionalisme yang cenderung chauvinistik
tersebut mustahil dapat menerima upaya pembentukan hukum yang berasal dari
jiwa bangsa lain (dalam hal ini Perancis yang meninggalkan Jerman).
Dalam suasana demikian. Savigny mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan
menyemaikan ajarannya yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa memiliki
"volgeist" (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat
diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya.
Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika
terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat
tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari
hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
SUBSTANSI DAN PERKEMBANGAN AJARAN MADZAB SEJARAH
Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya
'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas
Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain
dikatakan:
'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu
tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) (Lili
Rasjidi. 1996: 69).
Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia
yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa rakyat)
yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga
tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan
waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh
pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat
Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya
tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan
kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh
para ahli hukumnya (Lili Rasjid 1996: 70).
Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa
pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut (W.Friedman, 1994: 61, 62).
1. Hukum ditemukant tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah
proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan
adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah
dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam
peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan
dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan
prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu
organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa
yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh
Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul
pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang
relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap
masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa
adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan
hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan
daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu
sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum
sepanjang sejarah.
Selanjutnya jika pokok-pokok ajaran madzab sejarah itu ditampilkan dalam suatu
matriks akan tampak seperti pada tabel-1 berikut ini:
OKOK-POKOK AJARAN MADZAB SEJARAH
Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya
Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat.
Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir
satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata (Lili Rasjidi,
1996: 70). Baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang-
undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch (Satjipto RahardjoJ 19B6: 24B).
Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan
lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori
oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian
juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa
antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang
saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk
hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.
Namun akhirnya, ajaran madzab sejarah ini mengalami improvisasi di tangan
pengikutnya sendiri yakni Sir Henry Maine (1822-1888) yang dalam bukunya
"Ancient Society" mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum
berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan
masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat
modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak
dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar
dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Hukum sendiri pada masyarakat ini
berkembang melalui 3 cara, yaitu: fiksi, equity, dan perundang-undangan.
Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum digunakan untuk
membedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan
peranan perundangan dan kodefikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat
yang telah maju (Lili Rasjidi 1991: 48).
Jadi Maine membedakan adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresif.
Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui 3
cara yaitu: "fiksi, equity, dan perundang-undangan. Selanjutnya, bagi Maine,
Volgeist bukanlah sesuatu yang mistik. 0leh karena Maine mencermati bahwa dalam
perjalanan kehidupan masyarakat terdapat perkembangan dari suatu situasi yang
ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak (Satjipto Rahardjo, 1986: 250).
R.W.M Dias mengatakan bahwa pada masyarakat-masyarakat kuna (tradisional),
kedudukan hukum seseorang ditentukan oleh status, yaitu bahwa tuntutan-
tuntutannya kewajiban-kewajibannya, ditentukan oleh hukum (dalam Satjipto
Rahardjo, 1986: 250). Dengan demikian hukum yang berlaku itu adalah fiksi yakni
sesuatu yang sudah dianggap diketahui oleh masyarakat oleh karena merupakan
"jiwa"nya sendiri.
Dapat dibayangkan selaras dengan perkembangan masyarakat dari masyarakat kuna
/tradisional menuju masyarakat modern, seyogianya terlebih dahulu mengalami
transisi. Dalam pada itu dasar kedudukan hukumnya diasumsikan juga berada pada
tahap antara status dan kontrak. Konsekuensinya hukum yang berlaku adalah "fiksi
dengan dibarengi equity.
Gerakan suatu masyarakat menuju kepada masyarakat progresif ditandai oleh
runtuhnya status tersebut dan kedudukan hukum seseorang ditentukan oleh dirinya
sendiri artinya oleh kebebasannya untuk melakukan perundingan-perundingan serta
perjanjian-perjanjian dengan pihak lain.
Jika pemikiran Maine di atas ditampilkan dalam suatu matriks akan tampak lebih
kurang seperti pada Tabel-2 berikut ini.
Tabel-2
PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN HUKUM YANG BERLAKU
No. Perkembangan Masyarakat Dsr Kedudukan Hukum
Hukum yg Berlaku
1
2
3
Trasional (Kuno)
Transisi
Modern
Status
Status-kontrak
Kontrak
Fiksi
Fiksi-Equity
Fiksi-Equity-
Perundang-undangan
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang
mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan
mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut
madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa (Sudikno Mertokusumo, 1986:
100). Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum
kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis (Lili Rasjidi, 1996: 71). Sikap
semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Mochtar Kusumaatmadja (1976: 4) mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran
dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam
mempertahankan (" preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai
kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya "pembaratan"
(westernisasi)
yang terlalu cepat,
kalau tidak hendak dikatakan berhasil
mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.
Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung beberapa kelemahan
yakni (Lili Rasjidi, 1991: 49):
1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (peraturan
perundang-undangan);
2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat abstrak serta konsepsinya
tentang jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak;
3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi suatu bangsa.
Kelemahan-kelemahan di atas akan diuraikan satu persatu untuk lebih mendalami
kritik terhadap madzab ini.
1. Penolakan hukum tertulis (perundang-undangan)
Yang dimaksud sebagai hukum bagi madzab sejarah ini adalah hukum kebiasaan
tidak tertulis yang berkembang pada masyarakat sebagai pengejawantahan dari
sistem nilai. Dengan demikian, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini
adalah kesadaran hukum masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1986: 100).
Konkretisasi dari kesadaran hukum tersebut sebagai norma yang mengikat
masyarakatnya tampak pada aturan-aturan tidak tertulis.
Sikap seperti itu menegasikan perubahan masyarakat. 0leh karena itu, Savigny
menentang perubahan hukum. Menurut madzab sejarah ini, tugas seorang yuris dan
pembentukan hukum adalah untuk mengadakan verifikasi dan memformulasikan
hukum kebiasaan yang ada secara esensial hukum berfungsi untuk mengadakan
stabilisasi, dan bukan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan (Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1987: 35).
Bagi masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak
mungkin pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah
yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan
aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata
pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu
ketidakpastian hukum. 0leh karena, sebagaimana pandangan madzab ini, proses
konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan
tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran
umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran
umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu.
Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari jiwa
masyarakat.
Tegasnya, monopoli aturan tidak tertulis sebagai pedoman tindakan hukum
masyarakat melahirkan ketidakpastian hukum. Interpretasi para ahli hukum
melakukan konkretisasi jiwa masyarakat, yang tidak mustahil subjektif, akan
mempertinggi kemungkinan ketidakpastian hukum.
Sifat tidak tertulis dari suatu aturan hukum juga dapat mengundang tindakan
sewenang-wenang dari kekuasaan absolut (Lili Rasjidi, 1991: 49). penguasa dapat
saja menyelewengkan makna dari jiwa masyarakat sesuai dengan harapannya
sendiri. Para ahli hukum yang bertugas menemukan hukum tidak mustahil diarahkan
penguasa. Sebab keberadaan ahli hukum sebagai penemu hukum yang menjadi abdi
kesadaran umum/kesadaran hukum sulit mengontrol kesetiaannya. Jadi jika
masyarakat hidup di bawah kekuasaan absolut sangat mungkin aturan tidak tertulis
yang disebut hukum itu untuk disalahgunakan.
Oleh karena itulah, maka Baseler (W. Friedman, 1994: 62) menentang konsepsi
romantis Savigny bahwa ahli hukum adalah agen kesadaran umum dengan
mengatakan bahwa, sebaliknya hukum rakyat, berbeda dari pengetahuan teknis dan
artifisial dari ahli hukum.
Mochtar Kusumaatmadja (1976: 4-5) mengatakan bahwa politik hukum yang
diilhami madzab sejarah yang secara apriori menolak perundang-undangan sebagai
hukum kurang menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Politik hukum yang
bermaksud melindungi golongan pribumi telah secara efektif mengisolasikan
"golongan pribumi" dari hubungan dan perkembangan hukum aktua, sehingga
mengakibatkan keterbelakangan golongan ini dalam situasi dimana golongan-
golongan yang berbeda itu harus bersaing, misalnya dalam perdagangan.
2. Ketidakjelasan konsep kesadaran hukum dan jiwa rakyat
Kesadaran hukum yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat
tentang apa hukum itu. menurut pandangan madzab sejarah ini bukanlah
merupakan pertimbangan rasional. tetapi berkembang dan dipengaruhi oleh pelbagai
faktor, yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan ini selalu berubah.
oleh karena itu hukum pun selalu tidak sama (namun, bukan karena mengalami
perubahan). Konsekuensinya. tidak ada ukuran tentang isi hukum yang berlaku
obyektif yang dapat diterima setiap orang secara ilmiah (Sudikno Mertokusumo.
1986: 100).
Selanjutnya, konsep jiwa masyarakat dalam madzab ini tidak dapat menunjukkan
secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. sehingga amat sulit melihat fungsi
dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut madzab ini.
Pendeknya Friedman (1994: 59) mengatakan bahwa konsep itu masih terlalu umum.
3. Inkonsistensi jiwa rakyat sebagai sumber hukum
Savigny menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa
rakyat tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain, yang membahas tentang Hukum
Romawi, dia mengatakan bahwa Hukum Romawi merupakan hukum terbaik (Lili
Rasjidi, 1991: 49).
Studi Savigny yang mendalam atas Hukum Romawi menjelaskan pada dirinya bahwa
perkembangan Hukum Romawi merupakan contoh penuntun hukum yang bijaksana
yang membentuk hukum melalui adaptasi bertahap bagi zaman-zaman sebelum
"corpus yuris" membentuk kodefikasi yang final (W.Friedman, 1994: 62).
Ada dua hal yang tersirat dari uraian di atas, yakni:
a. ketidakjelasan makna dan fungsi jiwa rakyat;
b. kodefikasi merupakan "tindakan final" dari suatu upaya memformulasikan hukum,
yang berarti akhirnya, sikap anti anti Savigny terhadap kodefikasi tampaknya
sudah diperluwes.
DAFTAR PUSTAKA
Friedman. W., 1993, Teori & Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-teori
Hukum (Susunan I), Diterjemahkan Muhammad Arifin, Cetakan
Kedua, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
___________, 1994, Teori & Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema
Keadilan (Susunan II), Diterjemahkan Muhammad Arifin. Cetakan
Kedua. Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Cetakan Ketiga, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan
Kedua, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Montesquieu, 1993, Membatasi Kekuasaan -Telaah Mengenai Jiwa Undang-
undang, Alih bahasa J.R. Sunaryo. Cetakan Kedua, Penerbit PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Diedarkan
oleh Penerbit Binacipta.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1987, Renungan tentang Filsafat
Hukum, Cetakan Keempat, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Rasjidi, Lili, 1991, Filsafat Hukum -Apakah Hukum itu ?, Cetakan Kelima,
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
_________, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Cetakan ke-7, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Soekanto, Soerjono dan R.Otje Salman, 1987, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial
(Bahan Bacaan Awal) , Cetakan Pertama, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta.
1 comment:
Thanks for writing thhis
Post a Comment