AIDS atau Acquired Immunodefiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis virus yang disebut HIV yakni Human Immunodefiency Virus. Cara kerja HIV adalah menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, yakni sistem jaringan yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan-serangan penyakit.
Orang yang terinfeksi HIV, dalam waktu tertentu akan kehilangan kekebalannya dan mudah terkena penyakit apa saja dan sampai saat ini sulit sekali untuk disembuhkan, karena belum ditemukan anti virus atau obat yang efektif bisa menyembuhkannya.
Karena itu HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan bahkan sangat mematikan. WHO memperkirakan lebih kurang 25 juta orang telah mati karena terinfeksi HIV, sejak virus tersebut ditemukan pada tanggal 5 Juni 1981. Artinya, rata-rata setiap tahun lebih kurang satu juta orang mati sia-sia karena AIDS.
Anehnya, betapapun berbahaya dan menakutkannya virus ini, tidak mampu dihentikan ataupun dikurangi perkembangan penularannya. Apabila pada awal tahun sembilan puluhan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia hanya hitungan jari saja, sekarang jumlah pengidap dan mereka yang sudah terifeksi HIV/AIDS diperkirakan sudah lebih dari 150.000 sampai 180.000 sampai 200.000 orang.
WHO menyatakan bahwa pertumbuhan HIV/AIDS di Indonesia merupakan pertumbuhan tercepat di Asia. Sementara itu di seluruh dunia, WHO memperkirakan jumlah pengidap dan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS sudah mencapai 45 juta orang.
***
Jika dilihat dari cara penularannya, HIV/AIDS termasuk penyakit yang tidak mudah menular. Karena penularannya memerlukan kontak langsung melalui hubungan seksual, melalui proses kehamilan, kelahiran atau menyusui, dan melalui jarum suntik.
Pada awal-awal kasus ini ditemukan, HIV/AIDS banyak ditemukan pada mereka yang memiliki perilaku homoseksual, tetapi sekarang ini yang terbanyak ditemukan pada mereka yang sering berhubungan seks dan berganti-ganti pasangan seks (seks bebas atau prostitusi), dan penularan melalui penggunaaan jarum suntik yang dipakai secara bergantian oleh para pecandu narkoba. Tetapi yang pasti pandemik HIV/AIDS ini terjadi melalui perilaku-perilaku homoseksual, seks bebas, prostitusi dan narkoba.
Kita harus menjadi sangat prihatin, bahwa jika Indonesia disebut sebagai Negara yang mengalami pertumbuhan HIV/AIDS tercepat di Asia, maka artinya bahwa perilaku-perilaku yang menyebabkan terjadinya penularan HIV/AIDS seperti homoseksual, prostitusi, pergaulan seks bebas, dan penyalahgunaan narkoba tentu cukup marak di negeri ini.
Sementara, perilaku-perilaku tersebut notabene adalah perilaku-perilaku yang sangat tidak dianjurkan oleh ajaran agama atau bertentangan dengan ajaran agama. Persoalannya kemudian adalah bahwa meskipun jumlah mereka diperkirakan hanya lebih kurang 200.000 orang atau kurang dari 1/1000 dari jumlah penduduk Indonesia tetapi hal tersebut menjadi naïf, karena terjadi di Negara yang menggunakan dasar falsafah Ketuhanan Yang Maha Esa, atau Negara yang menjadikan agama sebagai pedoman hidup masyarakatnya.
Maka, dapat dipastikan bahwa agama melarang perilaku-perilaku tersebut. Dalam Islam jelas sekali melarang prostitusi atau seks bebas yang dikategorikan dalam zina, seperti tersebut dalam Al Quran, surat Al Isra ayat 32 yang artinya: “Janganlah kau dekati perbuatan zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Kemudian, di ayat lain bahkan memerintahkan untuk menghukum penzina-penzina tersebut. Al Quran juga mengisahkan bagaimana kaum Nabi Luth dihancurkan oleh Allah karena tidak mau beriman dan senang melakukan hubungan seks dengan sesama lelaki (homoseksual).
Dalam ayat Asy Syu’ara 166 yang artinya: ”Dan mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”.
Demikian pula dengan narkoba. Narkoba dapat digolongkan dengan Khmar atau benda-benda yang memabukkan. Dalam surat Al Maidah ayat 90 dinyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Dalam Injil juga dinyatakan bahwa kehidupan dosa seperti pencabulan, seks bebas dan narkoba adalah sesuatu yang dilarang. Hal ini dapat ditafsirkan secara jelas dari Roma 13:13 yang berbunyi: “Marilah kita hidup sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.”
Demikian pula dalam Galatia 5:20-21 juga secara jelas menyatakan: “….jauhilah perbuatan daging: pencabulan, kecemaran, perselisihan, iri hati, amarah, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.” Serta masih banyak lagi ayat-ayat yang melarang perbuatan yang sejenis dengan seks bebas, prostitusi dan narkoba dalam Injil terdapat pada Markus 7:21-23, Korintus 6:18, Kolose 3:5-6.
Dalam kitab suci agama Hindu, larangan terhadap seks bebas juga dapat ditafsirkan secara jelas dari bunyi Sarasanuccaya 424 yang artinya: “Dari sekian banyak yang dirindukan, tidak ada yang menyamai wanita dalam hal membuat kesengsaraan, apalagi memperbolehkannya dengan cara yang tidak halal. Karenanya singkirkan wanita (pelacur) itu, walau hanya di angan-angan saja sekalipun hendaknya segera ditinggalkan.”
Kemudian dalam reg Veda X 33.3 yang artinya: “Kekacauan batin akibat dari dorongan seks, mengerogoti seperti tikus,” dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Larangan yang berkaitan dengan narkoba, adalah sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita XIV.21 yang artinya: “Pintu gerbang neraka yang menuntun jiwaatma ke lembah kesengsaraan ada tiga, yaitu: nafsu, amarah, loba. Oleh karena itu orang harus selalu menghindari dan mengendalikan hawa nafsu.” Ayat-ayat lain juga terdapat pada Nitisastrasargah XIV.3-4 dan para Reg Veda VIII.2.2.
Dalam pandangan Budha Dharma pandangan tentang hal ini juga tegas dinyatakan dalam tiga sila dari Pancasila Budhis, sebagai berikut: pertama, “Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan mahluk hidup.” Kedua, “Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila.”; dan ketiga, “Aku bertekad akan malatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.”
***
Karenanya, agama mempunyai tanggungjawab yang besar untuk menyelamatkan bangsa ini dari serangan HIV/AIDS. Persoalan HIV/AIDS bukan hanya persoalan kesehatan atau kedokteran semata, bahkan yang terbesar adalah persoalan moral dan agama, persoalan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Sebagian orang mungkin akan mengatakan bahwa HIV/AIDS adalah azhab bagi mereka yang berani menentang larangan Tuhan sebagaimana halnya pernah terjadi pada umat Nabi Luth. Tetapi menolong mereka yang berada dalam kesulitan dan kesengsaraan, menasehati dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan yang lurus adalah kewajiban para pemuka agama.
Jika pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dibagi dalam tiga bagian strategi, yakni prevensi (membentengi), represi (memerangi), dan rehabilitasi (memperbaiki), maka agama terlibat langsung dalam dua hal, yaitu membentengi (prevensi) dan memperbaiki (rehabilitasi).
Yang terkait dengan strategi prevensi adalah bagaimana membuat masing-masing umat beragama menjadi pribadi-pribadi yang kuat dan tabah menghadapi godaan setan yang berbentuk rayuan seksual ataupun kenikmatan narkoba. Hal ini dilakukan melalui peningkatan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Yang kedua adalah bagaimana membuat umat beragama mampu menciptakan daya nalarnya untuk memahami apa dan bagaimana efek dari penyimpangan seksual dan penyalahgunaan narkoba yang dapat menyebabkan tertular HIV/AIDS serta mengetahui tentang apa dan bagaimana kegananasan HIV/AIDS tersebut. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi dan pembelajaran tentang HIV/AIDS dan perilaku-perilaku yang menyebabkan tertularnya HIV/AIDS.
Kemudian yang terkait dengan strategi ketiga, yaitu “rehabilitasi” (perbaikan). Tugas para tokoh agama adalah bagaimana mengembalikan mereka yang tersesat ke jalan yang benar. Bagaimana mengubah penderitaan yang mereka rasakan menjadi sarana introspeksi, sehingga mampu untuk menyesali diri dan bertobat serta kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam proses rehabilitasi, yang tidak kalah pentingnya bagaimana mengajak keikutseraan masyarakat untuk tidak menambah penderitaan korban. Yakni dengan cara tidak mengucilkan atau berbuat diskriminasi terhadap para pengidap atau mereka yang terinfeksi HIV/AIDS.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa peran para pemuka agama dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sangat besar dan strategis.
Para ulama dan pemuka agama adalah pimpinan, pengayom, pembina dan pembimbing umat. Kata dan petuahnya menjadi fatwa yang diikuti dan dilaksanakan oleh masyarakat.
Semoga peran para pemuka agama akan mampu membentengi para umat dari ancaman HIV/AIDS, sekaligus mampu meringankan penderitaan mereka.)* dikutip dari pidato sambutan Menteri Agama RI Muhammad M Basyuni, pada acara "Pertemuan Nasional HIV/AIDS Lintas Agama" tanggal 7 Mei di Kantor Menko Kesra Jakarta
No comments:
Post a Comment