Oleh Wartawan "Pembaruan" Henny A Diana
TABRAKAN kapal tongkang milik PLTU I/PLN dengan kapal kargo An Giang berbendera Vietnam di perairan umum Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (7/7) menyisakan banyak masalah. Hingga kini tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian itu. Masing-masing pihak mengaku tidak bersalah meski sepenuhnya mengakui kecelakaan itu karena human error (kesalahan manusia).
Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel menyebutkan, tabrakan terjadi sekitar pukul 12.45 WIB. Kapal tongkang milik PLTU I/PLN yang membawa 363 kiloliter industrial diesel fuel atau bahan bakar minyak (BBM) sejenis solar, sekitar pukul 12.35 WIB meninggalkan dermaga VIII Pertamina UP III menuju Sungai Juaro.
Sejumlah saksi mata menuturkan, tongkang itu menyalahi jalur lintasan. Seharusnya tongkang segera menghindar begitu melihat ada kapal lain yang akan melintas di jalur itu. Kapal An Giang berbendera Vietnam yang membawa 1.100 ton beras melaju dengan kecepatan tinggi dari arah Selat Malaka menuju pelabuhan Boom Baru. Nakhoda sangat panik melihat tidak jauh di depannya ada tongkang yang melintas, memotong jalur. Tabrakan tidak bisa dihindari. Tongkang yang membawa minyak itu pun terbalik dan mengalami kebocoran. Muatannya tumpah. Kapal An Giang hanya terguncang. Tidak ada korban jiwa dalam tabrakan itu.
Tabrakan kapal seperti itu bukan yang pertama kali terjadi di perairan Musi. Menurut catatan Walhi, tabrakan kapal terparah terjadi pada 11 September 2001, antara kapal Othelo milik Pertamina dengan kapal jukung Halimun. Pada tahun 2002 tercatat terjadi 21 kecelakaan, kebanyakan kapal kandas dan mengalami kebocoran tangki bahan bakarnya. Khusus tahun 2003 (Januari hingga Juli) telah terjadi sepuluh kecelakaan, sebagian besar tabrakan kapal.
Walhi Sumsel mencatat transportasi di perairan Musi tergolong sangat padat. Setiap hari sekitar 2.010 kendararan sungai dan kapal melintas sungai itu. Rambu lalu-lintas yang dipasang pihak pelabuhan sebagian besar tidak berfungsi dan sebagian lagi hilang dicuri. Tahun ini telah dipasang 87 rambu di perairan Musi.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Sumatera Selatan telah mendapatkan hasil kajian cukup penting berkaitan dampak dari tabrakan kapal tongkang tersebut. Hasil kajian menyebutkan bahan bakar minyak yang mencemari Sungai Musi sudah melebihi ambang batas.
Hasil kajian itu telah diserahkan ke Gubernur. Di luar dugaan, Gubernur tidak segera memberi jawaban dan malah meminta agar kajian itu dipelajari kembali. Alhasil, temuan Bapedalda itu menjadi dokumen yang hanya memenuhi meja kerja. Walhi Sumsel sempat memprotes kelambanan Pemerintah Daerah menangani kasus pencemaran tersebut dengan menggelar demonstrasi Jumat (18/7). Ratusan aktivis lingkungan dan mahasiswa menyegel kapal An Giang. Aksi itu, menurut Kepala Divisi Polusi dan Tambang Walhi Sumsel, Dewa Gumay, sekaligus untuk menyerukan kepada penduduk di sekitar sungai bahwa air yang mereka minum telah tercemar minyak.
Dewa juga menegaskan, Walhi sangat kecewa pada sikap Pemerintah Provinsi Sumsel maupun Pemerintah Kota Palembang. Karena itu, Walhi mengajukan gugaran legal standing atas kasus pencemaran lingkungan tersebut.
Menurut Dewa, tumpahan minyak akibat tabrakan kapal tongkang milik PLN dan kapal An Giang itu memperparah pencemaran Sungai Musi. Sungai terlebar dan terpanjang di Sumatera itu sebelumnya telah tercemar berbagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Bahan-bahan itu merupakan limbah industri, bahan bakar alat transportasi air, dan sampah rumah tangga.
Lebih dari 300 industri di kawasan Sungai Musi. Dari jumlah itu hanya tiga yang memiliki dokumen pengelolaan lingkungan (Amdal). Karena itu, tidak mengherankan jika pencemaran dan pendangakalan di Sungai Musi semakin parah.
Akibat pendangkalan, kini kapal berukuran besar tidak bisa lagi berlabuh di Boom Baru, karena tidak bisa melintasi jalur menuju ke pelabuhan yang sangat terkenal itu. Pendangkalan juga terjadi di sekitar 104 sungai yang bermuara ke Sungai Musi.
"Sayangnya Pemda tidak bisa berbuat apa-apa. Pemda serba salah, karena sumbangan industri-industri itu sangat besar. Misalnya, hingga Mei 2003 PT Bukit Asam (perusahaan batu bara) menyumbang ke Pemprov Sumsel Rp 863 miliar. Belum lagi sumbangan ke PAD provinsi dan kabupaten," kata Dewa.
Racun Berbahaya
Dewa menambahkan, "beban" yang harus ditanggung Sungai Musi sudah terlalu berat. Pencemaran akibat limbah industri dan seringnya terjadi kebocoran tangki bahan bakar alat transportasi air merupakan ancaman serius bagi ekosistem Sungai Musi.
Dia berpendapat kasus tumpahnya minyak akibat tabrakan kapal tongkang milik PLN dan kapal An Giang tidak bisa dianggap sebagai kasus kecelakaan biasa. Apalagi dampak pencemarannya meluas hingga 20 kilo- meter lebih dari lokasi tabrakan.
Meski tidak semua minyak (363 kiloliter) itu tumpah, tetap saja menyebarkan bahan pencemar berbahaya karena mengandung senyawa karbon jenis polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Senyawa itu beracun dan dapat langsung membunuh biota di perairan. Apalagi diketahui konsentrasinya mencapai 0,2-10 mg per li- ter dengan ketebalan minyak di permukaan 0,3 hingga 1,5 cm.
Sementara itu, menurut Kepala Bapedalda Kota Palembang, Dr Hj Hilda Zulkifli MSi, tumpahan minyak di permukaan perairan akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dasar sungai. Hal itu mengakibatkan biota sungai sulit bernapas dan kekurangan oksigen.
Dia mengingatkan, dampak tumpahan minyak itu bukan hanya membahaya- kan manusia, tetapi juga akan memusnahkan biota sungai.
"Selama ini biota sungai (ikan) menjadi andalan pencarian masyarakat sekitar Sungai Musi. Tumpahan minyak itu juga akan membentuk gumpalan yang terus membesar mengikuti arus sungai. Sewaktu-waktu gumpalan itu akan pecah dan mengganggu biota sungai. Kejadian seperti ini sangat membahayakan lingkungan," katanya.
Hilda juga menyayangkan pencemaran akibat tumpahan minyak itu meluas dan pihak yang seharusnya bertanggung jawab (pelabuhan dan PLN sebagai pemilik kapal) lamban mengatasi dampaknya. Bahkan, oil boom (alat penangkap minyak) yang baru dipasang sekitar pukul 16.30 WIB (empat jam setelah tabrakan) pun tidak dijaga petugas.
Kelalaian itu mendorong Bapedalda Kota Palembang menyiapkan gugatan dan meminta ganti rugi untuk pemerintah dan masyarakat. Namun, belum jelas gugatan akan ditujukan ke pihak mana.
Sementara itu, Humas UP III Pertamina menyatakan, sesaat setelah kejadian pihaknya telah mengadakan rapat dengan unsur-unsur terkait. Termasuk di antaranya Kepala Administratur Pelabuhan, pihak PLN dan awak kapal An Giang.
Pertamina terus memberikan bantuan untuk mencegah pencemaran dengan menerjunkan kapal penyemprot, empat kapal pemantau minyak (mooring) dan delapan unit penangkap tumpahan minyak (oil boom), serta pengisap minyak yang telah ditangkap oil boom (oil scimer).*
Last modified: 5/8/03
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/08/05/Utama/ut06.htm
No comments:
Post a Comment